Sungguh sulit bagiku mengenang
kembali lembaran hidup yang telah bergulir. Namun seperti yang sudah aku
sampaikan, meluapkan lebih baik ketimbang kita pendam.
Sejenak aku menatap langit dan menghela napas. Aku pun mencoba mengumpulkan keberanian, berperang melawan diriku untuk menoleh ke belakang lagi. Ada banyak cerita suka dalam hidupku. Kisah duka, tak kalah banyak pula.
Sejenak aku menatap langit dan menghela napas. Aku pun mencoba mengumpulkan keberanian, berperang melawan diriku untuk menoleh ke belakang lagi. Ada banyak cerita suka dalam hidupku. Kisah duka, tak kalah banyak pula.
Hidup tidak hanya satu warna saja
Sebuah persalinan yang lancar,
disenja yang rapuh karena mendung menggelayut di sekitar Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta Timur, 17 Mei bertahun-tahun yang lalu. Nama indah pun
disematkan untukku, Stepanus Edi Purnomo. Orang kerap menyapaku Epan. Menurut
orangtuaku, banyak yang terkagum-kagum melihat aku. Bayi mungil nan tampan,
montok, berkulit putih, rambut hitam tebal dengan lesung pipi yang manis
(silahkan pandang wajahku dengan sinar matamu yang penuh penghakiman). Bicara
nama, akibat kecerobohan lurahku, nama pemberian kedua orangtuaku akhirnya
menjadi sia-sia belaka. Aku pun harus rela menanggung nama ini sepanjang
hayatku. Aku : Setepanus Edi Purnama
Aku dibesarkan dalam situasi yang sulit dan bisa dibilang kurang
berkecukupan. Aku bungsu dari lima bersaudara. Kakak pertama dan keduaku
keduanya perempuan, sedangkan kakak ketigaku laki-laki. Sebenarnya, aku
memiliki seorang kakak lagi, sayang ia belum sempat meramaikan dunia, meninggal
saat usia kandungan emak menginjak 7 bulan. Bapakku hanya seorang tukang jahit
yang penghasilannya bergantung pada situasi dan musim. Sedangkan emak, ceruk
nafkah ia cari dengan membuka warung kelontong kecil sambil berjualan lauk
matang yang dijajakan dari satu rumah ke rumah. Sementara aku dan abangku tak
mau kalah mencoba membantu hidup, kami berjualan kue kamir dengan
berkeliling kampung dan rutin kujalani sehabis pulang sekolah. Ini
kulakukan penuh sukacita, meskipun keuntungan yang diperoleh sebesar 200
rupiah, dan terkadang hanya dibayar dengan 2 buah kue kamir jika tidak habis
kujual. Hasil dari jualan, aku tabung disebuah celengan ayam milikku. Tidak ada
perasaan sedih meski usiaku kala itu sudah menginjak delapan tahun, mungkin
masih terlalu kecil untuk memahami esensi dari hidup. Ya, aku
hanyalah anak kecil tak berdaya, yang tak mampu mengartikulasikan rasa yang
menjalari bantinku.
Masih terekam jelas dalam ingatan, bagaimana bapak harus memutar otak untuk
membiayai sekolah anak-anaknya. Berkat keahliannya menjahit, bapak mendapat
pekerjaan disebuah rumah busana sebagai tukang jahit. Upahnya hanya dibayar
berdasarkan pakaian atau celana yang telah bapak buat. Apadaya, pundi-pundi
uangnya masih belum cukup menutupi celah kekurangan. Hingga pernah suatu kali
bapak meminjam uang ke tetangga demi kelangsungan hidup. Tapi aku sungguh
bahagia, meski dalam keadaan sulit keluargaku tetap rukun dan harmonis, seolah
rona kemiskinan hanya berupa hantu disudut pikir yang lekang tertindas oleh
keluargaku yang bersatupadu. Semua aneka rasa kami pikul bersamaan. Aku bahagia
meski hanya makan nasi dan telur ceplok. Aku bahagia ketika bapak membuatkan
celana pendek hasil dari sisa kain jahitan orang. Menurutku, keceriaan adalah
kunci dari suatu keluarga yang harmonis.
Penganiyaan psikis dan Nyawa kedua
Ketika itu aku
masih kelas tiga sekolah dasar. Situasi berubah saat aku mengalami kecelakaan
sepeda. Alkisah, aku duduk dibelakang, sedangkan abangku yang mengayuh sepeda.
Saat perjalanan, sepeda yang rencananya akan membawa kami ke rumah tante,
mengantuk batu sehingga membuat tubuhku terpental kebelakang dengan wajah
menghujam telak jalan beraspal. Anehnya, sepeda dan abangku tidak jatuh dan
masih bisa melaju. Antara geli dan sedih. Rupanya, abangku tak menyadari
adiknya jatuh tersungkur dan baru mengetahui setelah sampai di rumah tante.
Sementara aku, yang penuh dengan darah mencoba merangkak dan meminta bantuan.
Sialnya, tak satupun mau menolong aku. Bahkan, aku masih ingat, ketika salah
satu warga setempat justru mengamini aku jatuh. Akibat dari kecelakaan ini, aku
mengalami luka yang cukup parah. Tangan dan kakiku patah, juga luka memar dan
sobek menginap diwajah, kepala, lutut kaki dan tanganku. Paling jelas terlihat
luka yang bersarang di atas bibir di bawah hidung, tempat bertumbuhnya
kumis.
Karena luka ini, orang awam melihat dan menyimpulkan aku memiliki (maaf) bibir sumbing yang sudah dioperasi sedemikian rupa. Tak urung, kawan sepermainanku di sekolah dan di rumah, bahkan yang usianya dewasa pun sepertinya jijik dan enggan melihat wajahku. Mereka menjauh. Jika terpaksa komunikasi dengan aku, bibir bicara tetapi tatapannya menoleh kesudut lain. Atau ketika di jalan aku bertemu ibu hamil, yang dengan spontan langsung memegang perut buncitnya seraya berkomat kamit ria. Lebih frontal lagi, aku kerap dihujani ejekkan 'ephan sibibir sumbing'. Terus terang, mataku tak sanggup menahan tangis. Tidak pernah terbesit dalam benakku diwaktu kecil harus menanggung caci maki yang tak kenal perasaan itu. Hatiku benar-benar tersayat. Ini lebih kelam dari sebuah mimpi buruk, lebih merah dari kucuran darah. Semua gambaran indah kehidupan yang selama ini mengisi hari-hariku seolah berhenti.
Karena luka ini, orang awam melihat dan menyimpulkan aku memiliki (maaf) bibir sumbing yang sudah dioperasi sedemikian rupa. Tak urung, kawan sepermainanku di sekolah dan di rumah, bahkan yang usianya dewasa pun sepertinya jijik dan enggan melihat wajahku. Mereka menjauh. Jika terpaksa komunikasi dengan aku, bibir bicara tetapi tatapannya menoleh kesudut lain. Atau ketika di jalan aku bertemu ibu hamil, yang dengan spontan langsung memegang perut buncitnya seraya berkomat kamit ria. Lebih frontal lagi, aku kerap dihujani ejekkan 'ephan sibibir sumbing'. Terus terang, mataku tak sanggup menahan tangis. Tidak pernah terbesit dalam benakku diwaktu kecil harus menanggung caci maki yang tak kenal perasaan itu. Hatiku benar-benar tersayat. Ini lebih kelam dari sebuah mimpi buruk, lebih merah dari kucuran darah. Semua gambaran indah kehidupan yang selama ini mengisi hari-hariku seolah berhenti.
Kecelakaan itu laksana bayangan hitam
yang selalu menakut-nakuti aku, mengintai kemanapun kumelangkah. Selepas
kejadian itu, aku menjadi seorang yang tertutup, pemalu dan cenderung
penyendiri. Rendah diri menempel manis berdampingan dengan ragaku.
Pelbagai penghinaan demi penghinaan tak ayal membuat rasa percaya diriku jatuh
runtuh, menohok hingga lubuk hati yang paling dalam. Mengetahui ini, bapak
marah besar. Ada kata yang terucap : "Angkat dagu kamu, pandangan lurus
lihat kedepan. Kamu manusia, bukan babi. Buat apa jalan menunduk !!!".
Meski liar, perkataan bapak adalah suntikan penyemangat yang ampuh. Aku harus
bangkit!
Kebangkitan itu proses asimilasi
yakni aku menjadi (sedikit) percaya diri. Kakak perempuanku pun tak
ingin melewatkan masa 'bangkitku' ini. Untuk mengasah dan memupuk rasa percaya
diriku, ia selalu mengikutsertakan aku kelomba-lomba melukis dan menyanyi.
Juga terlibat aktif dalam kegiatan drama dan beberapa kali aku
dipercayakan ikut pementasan.
Aku sungguh bersyukur memiliki
keluarga yang luar biasa. Berkat dukungan mereka, aku seolah mendapatkan nyawa kedua untuk
melanjutkan hidup.
Ditinggal
Bapak..
Minggu, 13 Maret
2005. Siang itu, mendung begitu menyelimuti Jakarta, dan tidak pernah menyangka
hatiku akan mendung bahkan gerimis kemudian. Bapakku dipanggil Sang Penguasa
Kehidupan. Adegan itu begitu cepat. Kepergian bapak benar-benar
meruntuhkan mentalku. Rasa sedih, nelangsa, bersalah dan penyesalan banyak
mengendap dibatinku. Tidak ada lagi malaikat hidupku. Tapi aku tidak mau larut
dalam kubangan kesedihan. Hikmah pasti selalu ada dibalik musibah. Banyak
pekerjaan rumah yang harus dibenahi.
Setelah bersusah
payah berkutat selama 7 tahun, akhirnya aku dapat menyelesaikan kuliah S1
dengan hasil cukup baik. Pekerjaan sebagai warehouse helper (tahun 2002)
yang dulu aku benci dan keluhkan, menjadikan kekuatan aku untuk bisa melangkah
maju merajut masa depan. Tentu, dengan banting tulang, kerjakeras, ihklas dan
komitmen pada diri untuk dapat meraih keberhasilan.
Bapak bukan
hanya sekedar bapak bagiku, dia juga insipirasi dan sumber semangat. Bapakku
mengajarkan satu hal berharga, bahwa dalam hidup, seseorang harus sering-sering
melihat kebawah. Tetapi untuk meraih prestasi harus mampu melihat keatas.
Aku selalu ingat pepatahnya, "Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu
sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini". Aku memang tidak
memiliki rumah mewah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, kedudukan
dan jabatan yang luar biasa, namun aku bahagia karena memiliki keluarga yang
utuh, harmonis, dan penuh cinta. Tidak ada yang lebih berharga daripada itu.
Rasa sayangku kepada emak semakin bertambah tinggi tak terbendung. Dialah satu-satu harta berharga yang aku miliki sekarang. Bagiku, emak adalah superwoman. Ia bisa tampil sebagai sosok penghibur saat duka menjeratku.
Rasa sayangku kepada emak semakin bertambah tinggi tak terbendung. Dialah satu-satu harta berharga yang aku miliki sekarang. Bagiku, emak adalah superwoman. Ia bisa tampil sebagai sosok penghibur saat duka menjeratku.
Mengkutip pernyataan dari Carl Sanburg bahwa "Life is like an onion,
you peel it off one layer at a time, and sometimes you weep" tampak
tepat untuk mempresentasikan kehidupanku. Berbagai penderitaan telah membesarkan dan membentuk aku menjadi anak yang tahu
apa makna hidup. Hidup pada akhirnya memang harus dipahami sebagai rangkaian
perjuangan. Ada banyak pembelajaran berharga terkandung didalamnya. Semoga
sepenggal pengalaman hidupku ini menjadi sisi menarik yang bisa dijadikan
cermin oleh siapa pun dalam mengarungi pasang surut kehidupan.
Ak terharu ketika membaca artikel ini.
BalasHapusmemang bener kata pepatah: Kita tidak bisa memilih dikeluarga seperti apa kita dilahirkan, tetapi kita bisa bentuk keluarga seperti apa nantinya yg kita mau..
Tetap semangat, kejarlah impian mu, bahagiakan orangtua selagi mereka ada di dunia ini.. 😊😉
Now I know why your name is Sete :)
BalasHapusNice stories! Btw kue kamir itu seperti apa ya..