Kamis, 06 Maret 2014

Sepotong cerita SETE

Sungguh sulit bagiku mengenang kembali lembaran hidup yang telah bergulir. Namun seperti yang sudah aku sampaikan, meluapkan lebih baik ketimbang kita pendam.
Sejenak aku menatap langit dan menghela napas. Aku pun mencoba mengumpulkan keberanian, berperang melawan diriku untuk menoleh ke belakang lagi.
Ada banyak cerita suka dalam hidupku. Kisah duka, tak kalah banyak pula.
 
Hidup tidak hanya satu warna saja
Sebuah persalinan yang lancar, disenja yang rapuh karena mendung menggelayut di sekitar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Timur, 17 Mei bertahun-tahun yang lalu. Nama indah pun disematkan untukku, Stepanus Edi Purnomo. Orang kerap menyapaku Epan. Menurut orangtuaku, banyak yang terkagum-kagum melihat aku. Bayi mungil nan tampan, montok, berkulit putih, rambut hitam tebal  dengan lesung pipi yang manis (silahkan pandang wajahku dengan sinar matamu yang penuh penghakiman). Bicara nama, akibat kecerobohan lurahku, nama pemberian kedua orangtuaku akhirnya menjadi sia-sia belaka. Aku pun harus rela menanggung nama ini sepanjang hayatku. Aku : Setepanus Edi Purnama
 
Aku dibesarkan dalam situasi yang sulit dan bisa dibilang kurang berkecukupan. Aku bungsu dari lima bersaudara. Kakak pertama dan keduaku keduanya perempuan, sedangkan kakak ketigaku laki-laki. Sebenarnya, aku memiliki seorang kakak lagi, sayang ia belum sempat meramaikan dunia, meninggal saat usia kandungan emak menginjak 7 bulan. Bapakku hanya seorang tukang jahit yang penghasilannya bergantung pada situasi dan musim. Sedangkan emak, ceruk nafkah ia cari dengan membuka warung kelontong kecil sambil berjualan lauk matang yang dijajakan dari satu rumah ke rumah. Sementara aku dan abangku tak mau kalah mencoba membantu hidup, kami berjualan kue kamir dengan berkeliling kampung dan rutin kujalani sehabis pulang sekolah. Ini kulakukan penuh sukacita, meskipun keuntungan yang diperoleh sebesar 200 rupiah, dan terkadang hanya dibayar dengan 2 buah kue kamir jika tidak habis kujual. Hasil dari jualan, aku tabung disebuah celengan ayam milikku. Tidak ada perasaan sedih meski usiaku kala itu sudah menginjak delapan tahun, mungkin masih terlalu kecil untuk memahami esensi dari hidup. Ya, aku hanyalah anak kecil tak berdaya, yang tak mampu mengartikulasikan rasa yang menjalari bantinku.
Masih terekam jelas dalam ingatan, bagaimana bapak harus memutar otak untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Berkat keahliannya menjahit, bapak mendapat pekerjaan disebuah rumah busana sebagai tukang jahit. Upahnya hanya dibayar berdasarkan pakaian atau celana yang telah bapak buat. Apadaya, pundi-pundi uangnya masih belum cukup menutupi celah kekurangan. Hingga pernah suatu kali bapak meminjam uang ke tetangga demi kelangsungan hidup. Tapi aku sungguh bahagia, meski dalam keadaan sulit keluargaku tetap rukun dan harmonis, seolah rona kemiskinan hanya berupa hantu disudut pikir yang lekang tertindas oleh keluargaku yang bersatupadu. Semua aneka rasa kami pikul bersamaan. Aku bahagia meski hanya makan nasi dan telur ceplok. Aku bahagia ketika bapak membuatkan celana pendek hasil dari sisa kain jahitan orang. Menurutku, keceriaan adalah kunci dari suatu keluarga yang harmonis. 
Penganiyaan psikis dan Nyawa kedua
Ketika itu aku masih kelas tiga sekolah dasar. Situasi berubah saat aku mengalami kecelakaan sepeda. Alkisah, aku duduk dibelakang, sedangkan abangku yang mengayuh sepeda. Saat perjalanan, sepeda yang rencananya akan membawa kami ke rumah tante, mengantuk batu sehingga membuat tubuhku terpental kebelakang dengan wajah menghujam telak jalan beraspal. Anehnya, sepeda dan abangku tidak jatuh dan masih bisa melaju. Antara geli dan sedih. Rupanya, abangku tak menyadari adiknya jatuh tersungkur dan baru mengetahui setelah sampai di rumah tante. Sementara aku, yang penuh dengan darah mencoba merangkak dan meminta bantuan. Sialnya, tak satupun mau menolong aku. Bahkan, aku masih ingat, ketika salah satu warga setempat justru mengamini aku jatuh. Akibat dari kecelakaan ini, aku mengalami luka yang cukup parah. Tangan dan kakiku patah, juga luka memar dan sobek menginap diwajah, kepala, lutut kaki dan tanganku. Paling jelas terlihat luka yang bersarang di atas bibir di bawah hidung, tempat bertumbuhnya kumis.

Karena luka ini, orang awam melihat dan menyimpulkan aku memiliki (maaf) bibir sumbing yang sudah dioperasi sedemikian rupa. Tak urung, kawan sepermainanku di sekolah dan di rumah, bahkan yang usianya dewasa pun sepertinya jijik dan enggan melihat wajahku.
Mereka menjauh. Jika terpaksa komunikasi dengan aku, bibir bicara  tetapi tatapannya menoleh kesudut lain. Atau ketika di jalan aku bertemu ibu hamil, yang dengan spontan langsung  memegang perut buncitnya seraya berkomat kamit ria. Lebih frontal lagi, aku kerap dihujani ejekkan 'ephan sibibir sumbing'. Terus terang, mataku tak sanggup menahan tangis. Tidak pernah terbesit dalam  benakku diwaktu kecil harus menanggung caci maki yang tak kenal perasaan itu. Hatiku benar-benar tersayat. Ini lebih kelam dari sebuah mimpi buruk, lebih merah dari kucuran darah. Semua gambaran indah kehidupan yang selama ini mengisi hari-hariku seolah berhenti.
Kecelakaan itu laksana bayangan hitam yang selalu menakut-nakuti aku, mengintai kemanapun kumelangkah. Selepas kejadian itu, aku menjadi seorang yang tertutup, pemalu dan cenderung penyendiri. Rendah diri menempel manis berdampingan dengan ragaku. Pelbagai penghinaan demi penghinaan tak ayal membuat rasa percaya diriku jatuh runtuh, menohok hingga lubuk hati yang paling dalam. Mengetahui ini, bapak marah besar. Ada kata yang terucap : "Angkat dagu kamu, pandangan lurus lihat kedepan. Kamu manusia, bukan babi. Buat apa jalan menunduk !!!". Meski liar, perkataan bapak adalah suntikan penyemangat yang ampuh. Aku harus bangkit!
 
Kebangkitan itu proses asimilasi yakni aku menjadi (sedikit) percaya diri. Kakak perempuanku pun tak ingin melewatkan masa 'bangkitku' ini. Untuk mengasah dan memupuk rasa percaya diriku, ia selalu mengikutsertakan aku kelomba-lomba melukis dan menyanyi. Juga terlibat aktif dalam kegiatan drama dan beberapa kali aku dipercayakan ikut pementasan.
Aku sungguh bersyukur memiliki keluarga yang luar biasa. Berkat dukungan mereka, aku seolah mendapatkan nyawa kedua untuk melanjutkan hidup.
 
Ditinggal Bapak..
Minggu, 13 Maret 2005. Siang itu, mendung begitu menyelimuti Jakarta, dan tidak pernah menyangka hatiku akan mendung bahkan gerimis kemudian. Bapakku dipanggil Sang Penguasa Kehidupan. Adegan itu begitu cepat. Kepergian bapak benar-benar meruntuhkan mentalku. Rasa sedih, nelangsa, bersalah dan penyesalan banyak mengendap dibatinku. Tidak ada lagi malaikat hidupku. Tapi aku tidak mau larut dalam kubangan kesedihan. Hikmah pasti selalu ada dibalik musibah. Banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi.
 
Setelah bersusah payah berkutat selama 7 tahun, akhirnya aku dapat menyelesaikan kuliah S1 dengan hasil cukup baik. Pekerjaan sebagai warehouse helper (tahun 2002) yang dulu aku benci dan keluhkan, menjadikan kekuatan aku untuk bisa melangkah maju merajut masa depan. Tentu, dengan banting tulang, kerjakeras, ihklas dan komitmen pada diri untuk dapat meraih keberhasilan.
 
Bapak bukan hanya sekedar bapak bagiku, dia juga insipirasi dan sumber semangat. Bapakku mengajarkan satu hal berharga, bahwa dalam hidup, seseorang harus sering-sering melihat kebawah. Tetapi untuk meraih prestasi harus mampu melihat keatas.  Aku selalu ingat pepatahnya, "Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini". Aku memang tidak memiliki rumah mewah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, kedudukan dan jabatan yang luar biasa, namun aku bahagia karena memiliki keluarga yang utuh, harmonis, dan penuh cinta. Tidak ada yang lebih berharga daripada itu.

Rasa sayangku kepada emak semakin bertambah tinggi tak terbendung. Dialah satu-satu harta berharga yang aku miliki sekarang. Bagiku, emak adalah superwoman. Ia bisa tampil sebagai sosok penghibur saat duka menjeratku.
 
Mengkutip pernyataan dari Carl Sanburg bahwa "Life is like an onion, you peel it off one layer at a time, and sometimes you weep" tampak tepat untuk mempresentasikan kehidupanku. Berbagai penderitaan telah membesarkan dan membentuk aku menjadi anak yang tahu apa makna hidup. Hidup pada akhirnya memang harus dipahami sebagai rangkaian perjuangan. Ada banyak pembelajaran berharga terkandung didalamnya. Semoga sepenggal pengalaman hidupku ini menjadi sisi menarik yang bisa dijadikan cermin oleh siapa pun dalam mengarungi pasang surut kehidupan.

2 komentar:

  1. Ak terharu ketika membaca artikel ini.
    memang bener kata pepatah: Kita tidak bisa memilih dikeluarga seperti apa kita dilahirkan, tetapi kita bisa bentuk keluarga seperti apa nantinya yg kita mau..

    Tetap semangat, kejarlah impian mu, bahagiakan orangtua selagi mereka ada di dunia ini.. 😊😉

    BalasHapus
  2. Now I know why your name is Sete :)

    Nice stories! Btw kue kamir itu seperti apa ya..

    BalasHapus