Jumat, 28 Maret 2014

Dibuai Kelezatan Bumbu Gado-Gado Bude

  
Tulisan ini saya persembahkan untuk Bude yang telah dipanggil Tuhan setahun yang lalu. Sungguh, tidak ada yang dapat mengantikan kelezatan gado-gadomu, tidak seorang pun. Dan mohon maafkan saya karena tidak menepati janji untuk cetak foto ini hingga akhir hayatmu. Selamat Jalan, Bude.


**
Gado-gado adalah salah satu makanan yang sangat digemari masyarakat, termasuk saya tentunya. Selain karena harganya yang sesuai dengan isi kantong dan rasanya enak, gizinya pun komplit.

Mungkin sebagian dari kita belum pernah mencicipi gado-gado Bude ini atau bahkan baru pertama kali mendengar. Ya, kita memang lebih familiar dengan Gado-gado Boplo, bonbin, gado-gado Encim palmerah dan penjual gado-gado lainnya. Padahal berdagang gado-gado sudah dijalani Bude -biasa para pelangan memanggilnya-(66) selama 24 tahun.

Berlokasi tidak jauh dari Pasar Palmeriam, Matraman Jakarta Timur. Warung gado-gado ini berada menyempil persis dipinggir rel kereta api, perbatasan kayumanis dan palmeriam. Sehingga menjadikan pangsa pasar pembeli terbatas. Tak pelak, membuat gado-gado ini pun kurang terkenal. Tapi, untuk wilayah Matraman dan sekitarnya, gado-gado Bude ini jawaranya.

Warung milik Bude sangat sederhana, hanya berupa lapak berukuran kecil, dengan meja panjang sebagai tempat menaruh ’peralatan tempurnya’. Tempat ini buka setiap hari sejak pukul 08.00-11.00. Saran saya, sebaiknya datang pagi hari karena lepas pukul 9, Anda harus siap gigit jari. Selain rasanya yang lezat, harganya juga murah. Gado-gado ini dibanderol dengan harga Rp 7.500 per porsi plus lontong.

Tampilan gado-gado Bude ini terlihat sama seperti gado-gado lain. Terdiri dari sayuran, kentang, tahu goreng dan kerupuk. Sayuran didalam gado-gado yang diracik Bude terdiri dari kacang panjang, tauge, kol, dan kangkung. Yang membedakan hanya dari segi bumbu, gado-gado ini sangat medok. Anda dapat merasakan sensasi kenikmatan bumbu yang berbeda. Slurrp. Pekatnya kacang masih terasa dilidah meskipun sudah beberapa jam dari ketika Anda menyantap gado-gado ini.

Soal pilihan rasa, itu tergantung selera Anda. Bude sudah tahu persis apa kesukaan saya, yaitu gado-gado rasa pedas asam manis dengan taburan bawang goreng diatasnya, tanpa lontong dan kerupuk terpisah. Maklum dari tahun 1996, saya sudah berlangganan gado-gado ini.

Bagaimana, tertarik mencoba?
Proud being an Indonesian,
standarmiring
:: Artikel ini mendapat juara kedua dalam Writing Competition 01/10 - Share Your Food yang diadakan majalah Reader Digest Indonesia tahun 2010 :: 

Rabu, 19 Maret 2014

Pacu adrenalin ke puncak Bromo

 
Pandangan saya berkeliling. Di depan saya adalah samudera pasir yang seperti hamparan gurun tak bertepi. Bisikan pasirnya sampai ditelinga seolah mengucapkan salam. Disisi kanan, pelangi menyapa seakan mengucapkan selamat datang. Saya berdiri mematung, memandang puncak Bromo yang terus mengepulkan asap tebal berwarna kelabu serta beratap langit biru nan cerah.

***
 
Hardtop tidak boleh mendekat sampai ke kaki gunung, karena terdapat pancang-pancang besi yang membatasi kendaraan. Untuk naik, kita bisa berjalan kaki atau naik kuda. Ongkos naik kuda sendiri sangat variatif. Ada yang menawarkan Rp. 50.000, ada yang Rp.70.000, bahkan ada yang menawarkan ongkos Rp. 100.000. Namun bila ingin lebih dalam menikmati sensasinya, berjalan kaki menjadi pilihan yang tepat.
 
  
Udara dingin memaksa saya melilitkan syal dileher, menarik rapat-rapat kancing jaket dan sarung tangan. Mengenakan pakaian tebal, saya, dan beberapa kawan menuju kawah Bromo. Awalnya saya begitu bersemangat lantaran kontur yang dilalui landai. Tapi setelah berapa lama, rasanya kaki semakin berat diajak melangkah. Medan berundak-undak naik turun, ditambah dengan sinar matahari yang terik menerpa kulit dan tiupan angin yang membuat pasir berterbangan. Kita juga harus hati-hati dengan kotoran kuda yang banyak berserakan di jalan, jangan sampai terinjak. Beberapakali saya berhenti sekadar istirahat mengatur napas, hingga akhirnya sampailah di dasar ujung tangga menuju kawah Gunung Bromo. Di titik ini adalah tempat melepas lelah kita terakhir, sebelum menaiki ratusan anak tangga untuk sampai bisa dibibir kawah. Saya menyempatkan membeli secangkir kopi untuk menghangatkan tubuh.

  
Konon katanya jumlah tangga di tempat ini berubah – ubah jika dihitung. Tapi sebaiknya, nikmati saja perjalanan pendakian ini daripada menghitung dan mengkalkulasikan jumlah anak tangga. Dengan degup jantung yang agak kencang dan langkah berat satu demi satu anak tangga berhasil dilalui. Ada yang memberi strategi untuk setengah berlari karena akan lebih cepat dan tidak terasa tekanan di tulang lutut. Ini berhasil, buktinya rekan saya sudah sampai ke puncak, sementara saya masih tertinggal di belakang dengan napas tersengal-sengal. Perjalanan menuju Puncak Bromo, memang bukanlah perjalanan yang mudah. Apalagi anak tangga dipenuhi debu pasir yang cukup licin, membuat pengunjung harus ekstra hati-hati. 

Tapi seakan tak kenal lelah, kaki saya terus melangkah. Mendebarkan sekaligus memesona. Sensasi itulah yang terasa saat saya harus menaiki ratusan anak tangga ini. Perjuangan tidak berhenti, saya harus meniti jalan sempit yang berbatasan dengan kawah. Sungguh memacu adrenalin. Pengunjung berjejal di bibir kawah, tanpa ada pengaman.  Ini yang membuat kawan saya lainnya tepar menyerah pada kondisi.
 
  
Hingga akhirnya, rasa pegal kedua kaki tertebus dengan pemandangan begitu indah dan spektakuler dari Puncak Bromo. Trekking yang melelahkan seolah terbayar lunas, letih pun sirna seketika. Saya berhasil menaklukan Puncak Bromo, objek yang telah mendunia dan popularitasnya di Jawa Timur menduduki peringkat pertama. Sesampainya di Puncak Bromo yang tingginya 2.392 m dari permukaan laut, saya dapat melihat kawah Gunung Bromo yang mengeluarkan asap dari dekat. Pasca erupsi, justru menjadi daya tarik tersendiri. Selain melihat kawah, jika melayangkan pandangan kebawah, kita juga bisa menyaksikan pengunungan di sekitar yang memagari lautan pasir yang menghijau dan terdapat sebuah pura di tengahnya. Benar-benar pemandangan luar biasa, sulit buat kamera untuk menceritakannya selain dengan sepasang mata. Di atas ini, saya melepas penat sekaligus menikmati karunia Ilahi.
 

Tunggu apa lagi? Siap bertualang dan pacu adrenaline Anda!
 
Proud being an Indonesian,
standarmiring

Rabu, 12 Maret 2014

Bertandang ke Buddha Tooth Relic Temple and Museum

Singapura seolah tak pernah habis dikupas. Terlepas dari objek-objek wisata populer dan identik sebagai tempat wisata belanja, masih banyak sudut lainnya yang bisa dijelajahi. Salah satunya yang sayang jika tidak disinggahi yaitu Buddha Tooth Relic Temple and Museum atau Museum dan Kuil Relik Gigi Sang Buddha. Sebuah monumen budaya hidup yang terletak di South Bridge Road yang merupakan jantung Pecinan (Chinatown). Tidaklah sulit menemukan kuil ini, karena bisa dijangkau dengan Mass Rapid Transit (MRT). 

Buddha Tooth Relic Temple and Museum berdiri megah, terdiri dari empat lantai. Umumnya ciri khas vihara atau kuil, dominasi warna merah dan emas kentara sekali. Bangunan ini sendiri dikonsep dan dirancang oleh Shi Fa Zhao. Secara garis besar rancangan kuil ini dilandasi unsur-unsur dan sejarah Dinasti Tang dan Mandala Buddhis, yaitu representasi dari alam semesta Buddhis seperti yang terungkap dalam situs resmi kuil ini.
 
 
Begitu memasuki lantai satu, mata kita langsung tertuju kepada Patung Bodhisattva Avalokitesvara yang tengah duduk indah di atas tahta teratai, dan dikelilingi oleh patung-patung kecil sepanjang sisinya. Tata cahaya yang indah semakin menambah kesan menggagumkan bagi siapapun yang mengunjunginya. Saat saya tiba, suasana kuil cukup ramai karena sedang ada aktivitas ibadah. Beruntung saya bertemu dengan biksu dari Indonesia. Saya diajaknya melihat relik yang dipercaya para pemimpin umat Buddha sebagai relik suci Gigi Sang Buddha, terdapat di dalam sebuah stupa yang terbuat dari 320 kilogram emas hasil sumbangan umat. Peninggalan suci ini disimpan di lantai empat. Sayang tidak diperkenankan mengambil gambar, bahkan karena sucinya tempat ini, untuk masuk ke dalam pun harus melepas alas kaki. 
 
 
Selain menyimpan relik suci Gigi Sang Buddha, di lantai empat ini kita dapat menemukan beribu-ribu patung kecil Buddha yang disusun teratur dalam wadah kotak kaca. Ada pula bangunan dengan atap berbentuk pagoda yang di dalamnya terdapat lonceng besar dan dapat diputar-putar. Bagian depannya, ditumbuhi berbagai tanaman hias membuat suasana tampak asri.

 
Bagian menarik lain dari kuil ini adalah Buddhist Culture Museum yang terletak di lantai tiga. Di sini kita dapat menemui berbagai jenis patung Buddha dari penjuru negeri lengkap dengan penjelasan sejarahnya. Perasaan takjub menghampiri hati saya karena bangga secara langsung dapat melihat koleksi benda-benda bersejarah yang bernilai seni tinggi. Saya juga sempat melihat relik yang dijual dengan harga yang sungguh fantastik. Puas berkeliling museum, saya menurun ke lantai dua, yang adalah ruang perpustakaan. Di tempat ini semua dokumen baik asli maupun replika tentang sejarah Buddha tersimpan rapi.
 
 
Buddha Tooth Relic Temple and Museum sendiri merupakan salah satu kuil Buddha dengan bangunan yang masih terjaga dan terawat, ditengah-tengah modernitas masyarakat Singapura. Penasaran? Sediakan waktu luang untuk mengunjunginya, karena kita butuh waktu lama jika ingin detail melihat kuil ini.
Ah, Singapura memang tak henti menggoda.

Salam,
standarmiring
"Tidak mengambil apa-apa dari negara mereka, selain gambar, dan tidak meninggalkan apa-apa selain bekas kaki"

::cerita ini dimuat di
 ranselkecil.com dan juga readersdigest (web) ::

 


Selasa, 11 Maret 2014

(ESAI) Menyesapi Panorama Wat Arun


Jam nyaris berdetak ke angka sembilan saat saya sampai di Wat Arun. Keindahan Wat Arun yang berdiri kokoh menantang matahari, mengundang decak kagum saya.

 
 
Begitu menarik, unik dan memesona. Sejenak saya menatap langit dan menghela nafas, lalu menyisir setiap sudut bangunan yang memiliki arsitektur sangat megah ini. Gontai langkah saya pun perlahan mengukir lantai. 
 
 
Potongan kaca dan keramik warna-warni pada dindingnya membuat bangunan bersejarah tersebut tampak semakin indah dan elegan. Didorong penasaran yang tinggi untuk menyaksikan pemandangan yang lebih leluasa, saya mencoba mengumpulkan keberanian mendaki anak tangga yang menanjak tajam. Sungguh memanjakan mata. Rasa lelah seolah terbayar lunas, manakala disuguhkan panorama memukau. Di atas, saya melepas penat sekaligus menikmati karunia Tuhan. Ah, beginilah seharusnya hidup. 
 
Wat Arun memang menyuguhkan ‘surga’ bagi pecinta wisata. 

Salam,
standarmiring
"Tidak mengambil apa-apa dari negara mereka, selain gambar, dan tidak meninggalkan apa-apa selain bekas kaki"

::cerita ini dimuat di ranselkecil.com::

Satu malam di Pattaya


Terletak 160 km dari ibukota Bangkok, Pattaya adalah sebuah tempat kontemplasi yang menarik di Thailand. Mengunjunginya pun termasuk mudah, banyak tersedia bus publik dari Bangkok menuju Pattaya. Perjalanan dapat dimulai dari terminal Ekkamai dengan waktu tempuh sekitar 2-3 jam dan dibanderol tiket sekitar 80-150 THB untuk sekali jalan. Inilah kota pesisir yang bukan hanya menawarkan pantai indah, tapi juga kehidupan malam semalam suntuk.

***

Objek pertama yang layak dikunjungi di Pattaya adalah Mini Siam, yang terletak di area Chonburi. Layaknya Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang ada di Jakarta, di sini kita akan menemukan aneka miniatur bangunan dunia yang ditata dengan struktur mengesankan di antara hijaunya pepohonan rindang. Sayangnya, berbeda dengan Window of the World yang ada di Shenzen, Cina, tempat ini tidak memajang miniatur Candi Borobudur yang pernah digadang sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. 
 
Usai menjelajahi Mini Siam, kurang afdal rasanya bila tidak berkunjung ke Pattaya dengan melewatkan aksi cabaret show yang dimainkan lady boy. Terdapat dua pertunjukan kabaret terkenal di kota ini yaitu Alcazar dan Tiffany’s. Keduanya berada di Pattaya Second Road. Masing - masing pertunjukan mereka disajikan dengan memukau, sebut saja Alcazar yang lebih lucu dan aktratif, sedangkan Tiffany’s lebih serius drama pertunjukkannya. 
 

Kita sendiri tidak diperbolehkan mengambil gambar dan video selama pertunjukan berlangsung. Disetiap titik venue ada petugas yang memantau, meskipun banyak juga yang secara sembunyi mengambil gambar. Selepas pertunjukan, biasanya kita dapat berfoto dengan mereka yang tentu saja masih lengkap dengan kostum super seksinya, cukup dengan membayar sejumlah uang kecil.

Pattaya dikenal juga dengan Walking Street. Inilah ikon populer Pattaya. Tidak sedikit yang berujar bahwa mengunjungi Pattaya belumlah lengkap tanpa ngapel ke walking street.
Suasananya sendiri mirip kawasan Kuta di Bali, hanya lebih menantang. Sepanjang jalan ini berjajar kafe, bar dan klub malam yang hingar. Dentuman suara musik, kepulan asap rokok, bercampur dengan keramaian pelancong yang lalu lalang. Meskipun cenderung liar, namun pengunjung tetap terjaga keamanannya.

Saat pagi menyapa, Anda pun dapat bertandang ke Pattaya Bay. Dari sini, Anda dapat melihat panorama Pattaya dari ketinggian tanpa dipungut biaya. Pemandangan yang disajikan adalah hamparan garis pantai plus gugusan hijau pepohonan dan siluet gedung - gedung bertingkat di sisi lainnya. 

Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Museum Ripley’s Believe It or Not, yang berada di lantai tiga Royal Garden Plaza. Museum ini dikemas dengan konsep arsitektur yang unik. Dari luar, seakan ada pesawat tempur menabrak struktur bangunan dengan ekor menonjol keluar. Meskipun harga tiket termasuk mahal, namun tertebus dengan rasa kepuasan karena dapat melihat aneka koleksi benda dan kisah tak biasa dari berbagai penjuru dunia.
 
 

Petualangan di Pattaya biasanya ditutup dengan mengunjungi Floating Market. Meskipun barang yang dijajakan tidak terlalu istimewa, di sini kita dapat menemukan souvenir khas Thailand sebagai cinderamata. Uniknya, pasar terapung ini berada di atas danau buatan.

Sebenarnya menjelajahi Pattaya tidak cukup dalam waktu satu hari, namun bila waktu Anda cukup sempit, ada baiknya mencoba itinirerary seperti yang saya lakukan. Selamat bertualang!

Salam,
standarmiring
"Tidak mengambil apa-apa dari negara mereka, selain gambar, dan tidak meninggalkan apa-apa selain bekas kaki"

::Tulisan ini dimuat dimajalah 
Travelxpose edisi Juli 2012 ::


Travelxpose edisi Juli 2012
 

(ESAI) Mengintip Sekolah Laskar Pelangi


Sekolah Laskar Pelangi berdiri terseok di tanah tanpa ubin, berdinding kayu berlubang. Pencahayaan masuk dari celah-celah di antara kayu-kayu yang disusun horizontal memanjang dari kiri ke kanan. Kondisi kelas berantakan, dengan lebah berseliweran.
 


Di luarnya tampak dua buah kayu penyangga karena bangunan nyaris roboh. Di sebelah kanan sekolah ada sumur dan di dekatnya ada balai kecil. Dibangun di atas bukit bekas penambangan timah, sekolah ini menjadi replika SD Muhammadiyah yang digunakan untuk keperluan film Laskar Pelangi. Semua ditata sedemikian rupa sehingga mendekati kondisi aslinya.
 
 
Berada di Desa Selingsing, Kecamatan Gantong, Belitung Timur, sekolah Laskar Pelangi adalah simbol dan gambaran sekolah dengan fasilitas minim dan serba kurang ideal. Meski demikian, banyak sekali pesan moral dan semangat hidup pantang menyerah yang kita saksikan dari film ini. Laskar Pelangi bukan hanya menginspirasi semua orang, tetapi telah menunjukkan kepada kita bahwa fasilitas sekolah yang apa adanya atau biasa-biasa saja telah mampu melahirkan peserta didik yang luar biasa.


Proud being an Indonesian,
standarmiring

::cerita ini dimuat di ranselkecil.com::

Jumat, 07 Maret 2014

Petualangan Lima Jam di Kaligesing

 
 
Meski hanya memiliki waktu 5 jam di Purworejo, saya tidak membuang kesempatan emas ini untuk mencicipi liburan di kota kabupaten di Jawa Tengah itu. Pasalnya, sejumlah tempat wisata unik ada ditempat itu, seperti desa kelahiran Wage Rudolf Supratman dan Curug Silangit. Tidak ada pungutan bayaran apapun untuk memasuki kedua objek wisata tersebut. 

Kedua tempat itu ada di Kaligesing, salah satu kecamatan di kabupaten Purworejo. Kawasan itu relatif terjangkau. Cukup menggunakan angkot primkopol nomor 11 dari belakang Pasar Baledono, lalu turun di balai Desa Somongari. Jika menggunakan mobil atau sepeda motor, Anda bisa parkir di Balai Desa Somongari atau menitipkan di rumah penduduk sekitar.

Menjenguk WR. Supratman 

 
 
Petualangan dimulai dengan melipir ke Desa Somongari, yang rencananya akan dijadikan desa wisata karena memiliki wisata sejarah mengagumkan. Di desa itulah pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya dilahirkan. Anda bisa mengunjungi tempat plasenta (ari-ari) W.R. Supratman ditanam, yang ditandai dengan pohon andong dan diberi atap. Untuk mencapai tempat itu, Anda dapat berjalan kaki atau menggunakan jasa ojek motor penduduk sekitar sejauh satu kilometer dari Balai Desa Somongari 

Sampai di pintu masuk, jalan mendaki harus dilewati. Saat musim hujan, jalanan itu bakal menjadi sangat licin dan cukup berbahaya. Tetapi semakin lama Anda berjalan, semakin segar rasanya! Lelah tidak terasa karena sepanjang perjalanan tampak rerimbunan pohon durian dan manggis. 

Tepat di depan plasenta ditanam, berdiri kokoh bangunan bernama Memorial House W.R. Supratman. Begitu banyak hal bersejarah yang dapat kita jumpai di sana, antara lain berbagai cerita tentang W.R. Supratman, kumpulan karya lagu yang dia ciptakan, foto ketika berusia 18 tahun, silsilah keluarga sampai dokumentasi foto Seminar Nasional dan Putusan Pengadilan Negeri Purworejo seputar Pelurusan Sejarah tempat dan tanggal lahir W.R. Supratman. 

Memang sempat terjadi kontrovesi mengenai tempat dan tanggal lahir W.R. Supratman. Namun akhirnya kontrovesi tersebut dianggap selesai karena dukungan keluarga Supratman dan keputusan Pengadilan Negeri itu pada 29 Maret 2007. W.R. Supratman pun ditetapkan lahir di Trembelang, Somongari, Kaligesing Purworejo, pada Kamis Wage, 19 Maret 1903. 

Seakan menguatkan keputusan itu, patung W.R. Supratman didirikan di perempatan Panthok, sekitar 12 km sebelum sampai ke Desa Somongari.

Curug Silangit 
 

Petualangan selanjutnya adalah Curug Silangit yang berlokasi di dusun Jeketro desa Kaligono. Dengan menggunakan ojek, perjalanan menuju air terjun memberikan kesan yang tak dapat dilupakan. Menyusuri hutan dengan jalan yang sempit, melintasi jembatan bambu hingga meniti tanah berbatu tajam, berliku dan terjal serta tebing curam disisi kiri jalan. 

Karena terlalu beresiko, sepeda motor yang saya tumpangi tak dapat sampai tepat di depan Curug. Saya harus berjalan sejauh 50 meter lagi selama setengah jam, melalui anak tangga dan bebatuan kali yang besar dan licin. Salah satu daya tarik Curug Silangit adalah air terjun tiga tingkat. Sejuk dan damai saat memasuki air terjun bertinggi 30 meter ini. Butiran buih air yang menerpa kulit, dingin menyejukkan. Saya pun membiarkan air menampar pipi. Trekking yang lelah seolah terbayar lunas. 

Mengakhiri perjalanan, saya tergelitik untuk bertanya, mengapa air terjun ini dinamakan Curug Silangit. ”Karena tinggi curug ini selangit, Mas,” seloroh Toto, tukang ojek yang mengantar saya. 
Kalau Anda tertarik berkunjung, jangan lupa menyiapkan bekal minuman dan kudapan karena sepanjang perjalanan tidak ada warung. Oh ya, hanya dua provider saja yang bisa menerima sinyal telepon di kawasan ini.

  
Proud being an Indonesian,
standarmiring

::Tulisan ini dimuat dimajalah Reader’s Digest Indonesia edisi Oktober 2011. Untuk foto Curug Silangit pernah masuk rubrik Fun Time (Zoom In) majalah Cita Cinta edisi 13, terbit 20 Juni 2011, majalah jalanjalan rubrik POSTCARDS edisi Februari 2012 dan dicomot menjadi salah satu foto pendukung di web indonesia-tourism forum (setephotography) ::




RDI edisi Oktober 2011
Cita Cinta edisi 13, 20 Juni 2011
(Sebenarnya masih ada objek wisata Goa Seplawan terletak tidak jauh dari Curug Silangit. Sayang saat itu saya tidak bisa berlama-lama di desa ini karena harus melanjutkan perjalanan. Tapi saya berjanji akan kembali lagi ke sini untuk hunting objek wisata menarik lainnya. Ternyata, waktu 5 jam memang kurang untuk menyusuri dan menikmati panorama alam Kaligesing dan saya juga belum mencicipi durian Petruk yang konon katanya manis sekali rasanya)

Kamis, 06 Maret 2014

Menelusuri Jejak Benteng Pendem

 
 
Anda yang berpergian ke Cilacap, Jawa Tengah, jangan lupa singgah di Benteng Pendem. Dalam Bahasa Jawa, pendem berarti terbenam di tanah. Bangunan bersejarah ini memang nyaris tertutup tanah perbukitan. Terletak tepat di depan Pantai Teluk Penyu dan berseberangan dengan Pulau Nusakambangan, Benteng Pendem adalah bekas markas pertahanan tentara Hindia Belanda. Bangunan yang menempati area seluas 6,5 hektar ini dibangun secara bertahap selama 18 tahun, dari tahun 1861 hingga 1879.

Konon pada tahun 1970-an benteng yang dalam bahasa Belanda disebut Kusbatterij op de Lantong te Cilacap ini tidak sendirian. Ada benteng – benteng kecil berjejer di sepanjang pantai yang kemudian hancur bersama dengan datangnya kepentingan industri di Cilacap 

Benteng Pendem memiliki beberapa ruangan (barak), benteng pertahanan, benteng pengintai, terowongan, ruang rapat, klinik pengobatan, gudang senjata, gudang mesiu, ruang penjara, dapur, ruang perwira, dan ruang peluru. Sebagai bangunan bersejarah, benteng ini memiliki nasib yang sama dengan benteng – benteng yang ada di seluruh Indonesia. Walau masih relatif kokoh dan sebagian masih utuh, bangunan ini kurang terpelihara dengan baik. 









Bangunan bersejarah itu kini menjadi salah satu objek wisata ditambah dengan arena bermain anak, off road dan satwa kijang sebagai daya tarik pengunjung. Anda juga bisa memasuki terowongan kuno nan gelap dengan membayar Rp15.000.

Kata Bung Karno, bangsa yang besar itu menghargai sejarah. Salah satu caranya, dengan menyambangi bangunan bersejarah ini. Tertarik?

Proud being an Indonesian,
standarmiring

::Tulisan ini dimuat dimajalah 
Reader’s Digest Indonesia edisi Maret 2009 ::
 
RDI edisi Maret 2009
(Artikel pertama yang ditulis dan langsung dipercaya tampil dimajalah. Sejak saat itu, acap kali melakukan perjalanan, ketagihan untuk menuliskannya. Baik untuk dikirim kemajalah, atau sekadar koleksi pribadi @standar_miring)