Pandangan saya berkeliling. Di depan saya adalah samudera pasir yang
seperti hamparan gurun tak bertepi. Bisikan pasirnya sampai ditelinga seolah
mengucapkan salam. Disisi kanan, pelangi menyapa seakan mengucapkan selamat
datang. Saya berdiri mematung, memandang puncak Bromo
yang terus mengepulkan asap tebal berwarna kelabu serta beratap langit biru nan
cerah.
***
Hardtop
tidak boleh mendekat sampai ke kaki gunung, karena terdapat pancang-pancang
besi yang membatasi kendaraan. Untuk naik, kita bisa berjalan kaki atau naik
kuda. Ongkos naik kuda sendiri sangat variatif. Ada yang menawarkan Rp. 50.000,
ada yang Rp.70.000, bahkan ada yang menawarkan ongkos Rp. 100.000. Namun
bila ingin lebih dalam menikmati sensasinya, berjalan kaki menjadi pilihan yang
tepat.
Udara
dingin memaksa saya melilitkan syal dileher, menarik rapat-rapat kancing jaket
dan sarung tangan. Mengenakan pakaian tebal, saya, dan beberapa kawan
menuju kawah Bromo. Awalnya saya begitu
bersemangat lantaran kontur yang dilalui landai. Tapi setelah berapa lama,
rasanya kaki semakin berat diajak melangkah. Medan berundak-undak naik turun, ditambah
dengan sinar matahari yang terik menerpa kulit dan tiupan angin yang membuat
pasir berterbangan. Kita juga harus hati-hati dengan
kotoran kuda yang banyak berserakan di jalan, jangan sampai terinjak. Beberapakali
saya berhenti sekadar istirahat mengatur napas, hingga akhirnya sampailah di
dasar ujung tangga menuju kawah Gunung Bromo. Di titik ini adalah tempat melepas
lelah kita terakhir, sebelum menaiki ratusan anak tangga
untuk sampai bisa dibibir kawah. Saya menyempatkan membeli secangkir kopi untuk
menghangatkan tubuh.
Konon
katanya jumlah tangga di tempat ini berubah – ubah jika dihitung. Tapi sebaiknya,
nikmati saja perjalanan pendakian ini daripada menghitung dan mengkalkulasikan
jumlah anak tangga. Dengan degup jantung yang agak kencang dan langkah berat
satu demi satu anak tangga berhasil dilalui. Ada yang memberi strategi untuk
setengah berlari karena akan lebih cepat dan tidak terasa tekanan di tulang
lutut. Ini berhasil, buktinya rekan saya sudah sampai ke puncak, sementara saya
masih tertinggal di belakang dengan napas tersengal-sengal. Perjalanan menuju
Puncak Bromo, memang bukanlah perjalanan yang mudah. Apalagi anak tangga dipenuhi debu pasir yang cukup licin, membuat
pengunjung harus ekstra hati-hati.
Tapi
seakan tak kenal lelah, kaki saya terus melangkah. Mendebarkan sekaligus
memesona. Sensasi itulah yang terasa saat saya harus menaiki ratusan anak tangga
ini. Perjuangan tidak berhenti, saya harus meniti jalan sempit yang berbatasan
dengan kawah. Sungguh memacu adrenalin. Pengunjung
berjejal di bibir kawah, tanpa ada pengaman. Ini yang membuat kawan saya lainnya tepar
menyerah pada kondisi.
Hingga
akhirnya, rasa pegal kedua kaki tertebus dengan pemandangan begitu indah dan
spektakuler dari Puncak Bromo. Trekking yang melelahkan seolah
terbayar lunas, letih pun sirna
seketika. Saya berhasil menaklukan Puncak Bromo, objek yang telah mendunia dan
popularitasnya di Jawa Timur menduduki peringkat pertama. Sesampainya di Puncak Bromo yang tingginya 2.392 m dari
permukaan laut, saya dapat melihat kawah Gunung Bromo yang mengeluarkan asap
dari dekat. Pasca erupsi, justru menjadi daya tarik tersendiri. Selain melihat kawah, jika melayangkan pandangan kebawah, kita juga bisa menyaksikan pengunungan di
sekitar yang memagari lautan pasir yang menghijau dan terdapat sebuah pura di
tengahnya. Benar-benar pemandangan luar
biasa, sulit buat kamera untuk menceritakannya selain dengan sepasang mata. Di
atas ini, saya melepas penat sekaligus menikmati karunia Ilahi.
Tunggu
apa lagi? Siap bertualang dan
pacu adrenaline Anda!
Proud being an Indonesian,
standarmiring
standarmiring
Tidak ada komentar:
Posting Komentar