Rabu, 01 April 2015

Bocah-bocah Logam di Danau Toba

Bocah-bocah Logam
Anak-anak ini akan menunjukkan kepiawaiannya. Mereka akan melompat di ketinggian 15 meter dari kapal feri tanpa pelampung, tanpa alat pengaman lainnya dan tanpa cidera. Mereka bukan sedang akrobat, anak-anak ini justru sedang menyambung hidup dengan menjadi penyelam alami pencari koin.
***

Anak logam, sebutan untuk para pemburu uang koin tersebut. Tidak jelas dari mana asal sebutan itu. Mungkin karena mereka selalu berteriak-teriak minta uang logam, atau mungkin karena kesigapan mereka yang selalu mampu mengejar uang logam yang dilemparkan. Entahlah.

Siang itu menjelang sore, suasana penyeberangan di Pelabuhan Ajibata nampak ramai. Pelabuhan ini berbatasan langsung dengan Kota Parapat, Sumatra Utara, dan menjadi akses penyebrangan menuju Pelabuhan Tomok di Pulau Samosir. Satu demi satu mobil dan bus memasuki perut kapal. Namun disaat banyak wisatawan mulai terkagum-kagum akan ekostisme alam Danau Toba, saya justru tergelitik mengamati bocah-bocah sedang memperebutkan koin di danau, yang mungkin bagi kita enggan untuk memungutnya.

Pemandangan seperti itu mungkin sudah tidak asing lagi bagi para pengguna kapal di Pelabuhan Ajibata, tapi keterampilan mereka mengejar koin menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Demi menangkap jelas mimik wajah para bocah koin saya terpaksa menaiki tepi pagar kapal. Tangan saya tidak bosan untuk terus menekan rana kamera, sungguh aksi yang tak boleh terlewatkan untuk diabadikan.  Saya sempat menoleh ke arah bawah. Yasalaaam, tinggi sekali. Namun semangat saya begitu membara untuk mengorek lebih banyak informasi tentang ‘profesi’ mereka ini dan rela mengesampingkan keselamatan diri dan kamera saya yang bisa saja jatuh tercebur ke laut.
 
Boy
Saya beruntung melihat ada seorang bocah bertelanjang tanpa memakai baju dan hanya mengenakan celana dalam tampak asik duduk di bagian haluan kapal, di antara tali jangkar yang berseliweran. Kulit badannya hitam legam dan rambutnya memerah. Ya tentu saja, wong tiap saat harus mencebur ke laut, dan terbakar matahari. Usianya baru belasan. Ia sedang menghitung uang hasil dari memburu koin. “Lumayan buat jajan,” jawabnya ketika saya  dekati.  Boy, nama bocah itu, bersama sejumlah anak lainnya, mereka melakoni pekerjaan yang menantang sekaligus mengancam jiwa ini. Boy mengaku dalam satu hari penghasilan yang diperoleh berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp.15.000. Hasil yang mereka dapatkan bergantung dari banyak sedikitnya jumlah penumpang yang melemparkan koin. Selain itu, mereka juga harus bersaing dengan sesama anak koin yang lain.

Keberadaan anak logam bisa dilihat sebelum kapal bertolak meninggalkan dermaga, biasanya ketika kapal sudah selesai memuat barang dan penumpang. Rentang usia mereka beragam, mulai anak berumur 10 tahun hingga pemuda 17 tahunan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak di sekitar pelabuhan yang putus sekolah. Mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lantaran kesulitan ekonomi. Hal ini yang menjadikan alasan mereka memilih mengais rezeki sebagai bocah pemburu koin. Dengan keahliannya menyelam, mereka mengumpulkan uang recehan dan hasilnya untuk membantu perekonomian keluarga.

Para pencari koin itu sudah bersiap melakukan aktivitasnya sejak pukul 08.30 pagi, sesuai dengan jadwal pertama penyebrangan kapal di Pelabuhan Ajibata. Menjelang matahari terbenam, satu persatu dari mereka mulai pergi meninggalkan pelabuhan untuk pulang ke rumah. “Saya ikuti jam yang ada Bang. Tapi kalau sore sampai jam 17.00 saja karena sudah gelap tak kelihatan koinnya,” ujar Boy sambil senyum-senyum.

Adu gaya menyelam
Lalu, bagaimana cara mereka memperoleh koin di danau tawar ini?  Rupanya setelah sejumlah penumpang melemparkan sejumlah koin ke laut, anak-anak tersebut tanpa rasa takut langsung terjun ke laut  dengan gaya mereka masing-masing. Ada gaya salto atau membulat seperti batu. Mereka berebut menyelam untuk menggapai koin sebelum jatuh ke dasar danau. Beberapa detik kemudian mereka muncul ke permukaan dengan koin di genggamannya. Saat berenang, kaki dan tangannya sibuk bergerak. Mereka berusaha menahan tubuhnya agar tetap mengambang di permukaan air yang dingin. Sambil sesekali dari kejauhan berteriak meminta para penumpang kapal untuk melempar kembali koin ke laut. “Lempar lagi lah Bang! Lempar lagi lah!,” teriak anak-anak itu.
Asyik memperhatikan mereka, tiba-tiba saja dari arah belakang ada yang mencolek pundak saya. “Bang, minta  lima ribu. Saya akan loncat dari sini!” kata seorang bocah sebaya Boy melontarkan tantangan. Saya pandangi dia, tatapannya sungguh serius. Tapi saya tidak tega jika ia harus melompat dengan ketinggian belasan meter. Bagaimana jika terpeleset saat melompat? Atau tubuhnya menghantam kapal yang terbuat dari besi ini? Atau lebih menyeramkan lagi jika posisi ia mendarat terlalu dekat dengan baling-baling kapal? Rasa ngeri dan takut meliputi pikiran saya. OK. Ini lima ribu, tapi saya nggak nyuruh kamu nyebur dari sini ya. Ikhlas saya berikan untuk jajan kamu,” kata saya tegas.
 
Byurr, suara air jatuh. Tanpa komando, bocah ini telah loncat dari atap kapal. Saya bergidik, menggigit bibir. Tapi dari jauh saya melihat ia tertawa sambil melambai-lambaikan tangannya, menunjukkan kalau baik-baik saja.
 
Para pencari koin umumnya mengaku tidak pernah gagal memburu koin yang dilempar penumpang kapal. Bakat menyelam sendiri sudah mereka latih sejak kecil. Tak heran setiap uang yang dilempar ke danau dapat dengan mudah mereka temukan. Bahkan banyak penumpang yang dengan sengaja melempar dengan kuat sehingga uang itu terlempar cukup jauh namun anak-anak itu selalu mampu mengejarnya.
 
Bocah-bocah pemburu koin siap beraksi

Keberadaan pemburu koin ini tidak selamanya diterima, mereka kerap diusir oleh petugas keamanan saat berada di kapal karena melompat dan menyelam di sekitar kapal yang bersandar dianggap sangat berbahaya. Namun meski bahaya mengancam setiap saat, berbekal niat mencari uang, mereka terus menjalankan aksinya. Boy, bocah yang tadi sempat saya temui mengatakan, sebenarnya ia memiliki ketakutan saat mencari koin yang dilempar penumpang ke dasar danau. Ia takut tersedot baling-baling kapal. “Saya memang paling takut kalau kejepit kapal. Makanya biar tak kejepit harus cepat saat mengambil koin,” ujarnya.  Mungkin rasa senang dan tertantang untuk mendapatkan uang logam itu yang membuat Boy mampu mengalahkan rasa takutnya.
 
Terdengar suara klakson kapal yang memekakkan telinga, menandakan kapaI akan berangkat. Waktunya untuk angkat sauh. Dan beberapa anak pun mulai berenang ke tepian. Ah, Anak logam, nyalimu luar biasa.
 
Bocah-bocah logam, nyalimu luar biasa

Proud being an Indonesian,
standarmiring

:: Artikel ini dimuat di Majalah Reader's Digest Indonesia edisi April 2015 ::