Bocah-bocah Logam |
***
Anak logam, sebutan untuk para pemburu uang koin tersebut. Tidak jelas dari mana asal sebutan itu. Mungkin karena mereka selalu berteriak-teriak minta uang logam, atau mungkin karena kesigapan mereka yang selalu mampu mengejar uang logam yang dilemparkan. Entahlah.
Siang itu menjelang sore, suasana penyeberangan di Pelabuhan Ajibata nampak ramai. Pelabuhan ini berbatasan langsung dengan Kota Parapat, Sumatra Utara, dan menjadi akses penyebrangan menuju Pelabuhan Tomok di Pulau Samosir. Satu demi satu mobil dan bus memasuki perut kapal. Namun disaat banyak wisatawan mulai terkagum-kagum akan ekostisme alam Danau Toba, saya justru tergelitik mengamati bocah-bocah sedang memperebutkan koin di danau, yang mungkin bagi kita enggan untuk memungutnya.
Pemandangan seperti itu mungkin sudah tidak asing lagi bagi para pengguna kapal di Pelabuhan Ajibata, tapi keterampilan mereka mengejar koin menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Demi menangkap jelas mimik wajah para bocah koin saya terpaksa menaiki tepi pagar kapal. Tangan saya tidak bosan untuk terus menekan rana kamera, sungguh aksi yang tak boleh terlewatkan untuk diabadikan. Saya sempat menoleh ke arah bawah. Yasalaaam, tinggi sekali. Namun semangat saya begitu membara untuk mengorek lebih banyak informasi tentang ‘profesi’ mereka ini dan rela mengesampingkan keselamatan diri dan kamera saya yang bisa saja jatuh tercebur ke laut.
Boy |
Saya beruntung melihat
ada seorang bocah bertelanjang tanpa memakai baju dan hanya mengenakan
celana dalam tampak asik duduk di bagian haluan kapal, di antara tali jangkar yang berseliweran. Kulit badannya hitam
legam dan rambutnya memerah. Ya tentu saja, wong tiap saat harus mencebur ke laut, dan terbakar
matahari. Usianya baru belasan. Ia sedang
menghitung uang hasil dari memburu koin. “Lumayan buat jajan,” jawabnya ketika
saya dekati. Boy, nama bocah
itu, bersama sejumlah anak lainnya, mereka melakoni
pekerjaan yang menantang
sekaligus mengancam jiwa ini. Boy mengaku dalam satu hari penghasilan yang diperoleh
berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp.15.000. Hasil yang mereka dapatkan
bergantung dari banyak sedikitnya jumlah penumpang yang melemparkan koin. Selain itu, mereka juga
harus bersaing dengan sesama anak koin yang lain.
Keberadaan
anak logam bisa dilihat sebelum kapal bertolak meninggalkan dermaga, biasanya ketika kapal
sudah selesai memuat barang dan penumpang. Rentang usia mereka beragam, mulai anak berumur 10
tahun hingga pemuda 17 tahunan. Kebanyakan dari mereka adalah
anak-anak di sekitar pelabuhan yang putus sekolah. Mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi lantaran kesulitan ekonomi. Hal ini yang
menjadikan alasan mereka memilih mengais rezeki sebagai bocah
pemburu koin. Dengan keahliannya menyelam, mereka mengumpulkan uang
recehan dan hasilnya untuk membantu perekonomian
keluarga.
Para pencari koin itu sudah bersiap melakukan aktivitasnya sejak pukul 08.30 pagi, sesuai dengan jadwal pertama penyebrangan kapal di Pelabuhan Ajibata. Menjelang matahari terbenam, satu persatu dari mereka mulai pergi meninggalkan pelabuhan untuk pulang ke rumah. “Saya ikuti jam yang ada Bang. Tapi kalau sore sampai jam 17.00 saja karena sudah gelap tak kelihatan koinnya,” ujar Boy sambil senyum-senyum.
Para pencari koin itu sudah bersiap melakukan aktivitasnya sejak pukul 08.30 pagi, sesuai dengan jadwal pertama penyebrangan kapal di Pelabuhan Ajibata. Menjelang matahari terbenam, satu persatu dari mereka mulai pergi meninggalkan pelabuhan untuk pulang ke rumah. “Saya ikuti jam yang ada Bang. Tapi kalau sore sampai jam 17.00 saja karena sudah gelap tak kelihatan koinnya,” ujar Boy sambil senyum-senyum.
Lalu, bagaimana cara mereka memperoleh koin
di danau tawar ini? Rupanya setelah sejumlah penumpang
melemparkan sejumlah koin ke laut, anak-anak tersebut tanpa rasa takut langsung
terjun ke laut dengan gaya mereka masing-masing. Ada gaya
salto atau membulat seperti batu. Mereka berebut menyelam untuk menggapai koin
sebelum jatuh ke dasar danau. Beberapa detik kemudian mereka muncul ke
permukaan dengan koin di genggamannya. Saat berenang, kaki dan tangannya sibuk bergerak. Mereka berusaha menahan tubuhnya agar
tetap mengambang di permukaan air yang dingin. Sambil sesekali dari kejauhan berteriak meminta para penumpang kapal untuk melempar kembali
koin ke laut. “Lempar lagi lah
Bang! Lempar lagi lah!,” teriak anak-anak itu.
Adu gaya menyelam |
Asyik memperhatikan mereka, tiba-tiba saja dari arah belakang ada yang
mencolek pundak saya. “Bang,
minta lima ribu. Saya akan loncat dari sini!” kata seorang bocah sebaya Boy melontarkan tantangan. Saya pandangi dia, tatapannya
sungguh serius. Tapi saya tidak tega jika ia harus melompat dengan ketinggian
belasan meter. Bagaimana jika terpeleset saat melompat? Atau tubuhnya
menghantam kapal yang terbuat dari besi ini? Atau lebih menyeramkan
lagi jika posisi ia mendarat terlalu dekat dengan baling-baling kapal? Rasa
ngeri dan takut meliputi pikiran saya. “OK. Ini lima ribu, tapi saya nggak nyuruh kamu nyebur dari sini ya.
Ikhlas saya berikan untuk jajan kamu,” kata saya tegas.
Byurr, suara air jatuh.
Tanpa komando, bocah ini telah loncat dari atap kapal. Saya bergidik, menggigit bibir. Tapi dari jauh saya melihat ia tertawa sambil melambai-lambaikan
tangannya, menunjukkan kalau baik-baik saja.
Para pencari koin umumnya mengaku tidak
pernah gagal memburu koin yang dilempar penumpang kapal. Bakat menyelam sendiri sudah mereka
latih sejak kecil. Tak heran setiap uang yang dilempar ke danau dapat dengan
mudah mereka temukan. Bahkan banyak penumpang yang dengan sengaja melempar dengan kuat sehingga
uang itu terlempar cukup jauh namun anak-anak itu selalu mampu mengejarnya.
Bocah-bocah pemburu koin siap beraksi |
Keberadaan pemburu koin ini tidak selamanya diterima, mereka kerap diusir oleh petugas keamanan saat berada di kapal karena melompat dan menyelam di sekitar kapal yang bersandar dianggap sangat berbahaya. Namun meski bahaya mengancam setiap saat, berbekal niat mencari uang, mereka terus menjalankan aksinya. Boy, bocah yang tadi sempat saya temui mengatakan, sebenarnya ia memiliki ketakutan saat mencari koin yang dilempar penumpang ke dasar danau. Ia takut tersedot baling-baling kapal. “Saya memang paling takut kalau kejepit kapal. Makanya biar tak kejepit harus cepat saat mengambil koin,” ujarnya. Mungkin rasa senang dan tertantang untuk mendapatkan uang logam itu yang membuat Boy mampu mengalahkan rasa takutnya.
Terdengar suara klakson
kapal yang memekakkan telinga, menandakan kapaI akan
berangkat. Waktunya untuk angkat
sauh. Dan beberapa anak pun mulai berenang ke tepian. Ah, Anak logam, nyalimu
luar biasa.
Bocah-bocah logam, nyalimu luar biasa |
standarmiring
:: Artikel ini dimuat di Majalah Reader's Digest Indonesia edisi April 2015 ::