Kamis, 02 Juli 2015

Mengakrabi Semarang


 
Tanpa teman perjalanan, tanpa itinerary, tanpa informasi situs pencari di internet, dan tanpa mengetahui apa yang akan terjadi nanti. Prinsip saya, sejauh bisa berbicara, mendengar dan melihat kenapa takut nyasar?
***
Dan saya pun menguji prinsip ini setahun yang lalu.

Memilih Semarang sebagai kota tujuan, karena baru pertama kali saya menginjakkan kaki. Saya juga ingin mengenal budaya lokalnya, karakter masyarakat, dan potensi wisata yang dimiliki. Tentu saja yang tak boleh ketinggalan adalah mencicipi makanan khasnya.  Selama 3 hari 2 malam  membiarkan kehidupan saya mengalir tanpa ada rencana apalagi persiapan yang matang. Ini awal solo backpacking saya pertama dalam arti yang sebenarnya.
Perjalanan ke Semarang menghabiskan waktu 1 jam dengan lancar dan nyaman karena menggunakan Garuda Indonesia. Kabar baiknya, maskapai kebanggaan Indonesia tersebut kini melayani sembilan kali penerbangan dalam sehari menuju Semarang. Tentu menjadi semakin banyak pilihan waktunya. 

Meski trip ini bemodal minim, tapi untuk sisi keamanan dan keselamatan penerbangan, saya tetap mempercayakan layanan dari Garuda Indonesia.

Tiba di bandara Ahmad Yani, saya langsung berjalan kaki keluar mencari kendaraan umum dan menghiraukan tawaran tukang taxi yang terus mengganggu. Ternyata jarak bandara dengan tempat menunggu kendaraan umum lumayan jauh. Cukup menguras tenaga untuk ukuran tubuh tambun seperti saya, ditambah lagi dengan beban ransel yang mencangklong dipundak. Namun ada sensasi yang berbeda ketika berjalan sendiri ketempat yang belum pernah saya kunjungi dan belum tahu aktivitas apa yang akan saya lakukan sesampainya di lokasi.
PERTEMPURAN LIMA HARI
Tujuan pertama adalah menemukan penginapan. Pada awalnya saya ingin bermalam di masjid. Selain karena budget yang terbatas, saya juga bisa mengorek lebih banyak informasi dan isu-isu yang tengah hangat. Namun mempertimbangkan banyak aspek, akhirnya saya memutuskan untuk menginap di mess TNI. Saya mengetahui keberadaan tempat ini dari seorang backpacker ketika liburan di Bali beberapa tahun yang lalu. Bermodal secuil informasi itu, saya tuju mess TNI. Setelah bertanya dengan tukang ojek, ternyata lokasinya mudah dijangkau, hanya sekitar 100 meter dari Simpang Lima. Begitu sampai di Simpang Lima, tinggal jalan kaki menyusuri Jalan Gajah Mada. Sampai lampu merah pertama, belok kanan sekitar 10 meter. Menginap di mess akan merasakan atmosfer yang berbeda. Setidaknya itu sudah terasa sejak saya menjejak pintu masuknya yang khas. Sambutan masa silam langsung menyergap. Bangunan jaman kolonial yang masih dipertahankan walaupun sebagian besar sudah kusam.
Soal harga, mess TNI ini sangat murah. Saya membayar sewa sebesar Rp.80.000/malam untuk satu kamar dengan AC, lemari, 2 bed dan kamar mandi di luar. Saya berinisiatif mencari kawan untuk sharing cost, tapi rupanya baru saya saja yang menginap di sini.  Mess ini milik TNI, jadi jadwal harus disesuaikan saat anggota TNI tidak ada yang menginap.
Saya bertanya kepada penjaga mess, Pak Darta namanya, tentang kegiatan menarik untuk merasakan denyut kota Semarang dikala malam. Beruntung saya datang tepat saat peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Dengan semangat Pak Darta bercerita mengenai peringatan ini. “Biasanya saya ikut upacara, namun tahun ini dapat giliran jaga mess,” ujarnya. Sudah menjadi agenda tahunan setiap tanggal 14 Oktober diperingati oleh masyarakat kota Semarang sebagai peringatan Perang Lima Hari, dimana dulu sepanjang tanggal 14 – 18 Oktober 1945, rakyat Semarang bahu membahu melawan tentara Jepang setelah pembunuhan dr. Kariadi yang ditembak secara keji. Upacara selalu diadakan di kawasan Tugu Muda.
Setelah mendapatkan kunci, saya berjalan menyusuri lorong mencari kamar yang akan saya inapi. Aroma mistis menghantui saya, terlebih ketika akan menuju kamar mandi. Lokasinya yang berada persis menyempil di ujung lorong semakin memberi efek seram. Namun karena niat liburan begitu besar, saya acuhkan rasa takut itu dan segera bergegas menuju Tugu Muda.
Seluruh akses menuju Tugu Muda ditutup dari sore sampai selesainya upacara pada pukul 20.30 WIB. Semua masyarakat tumpah ruah di jalan demi menyaksikan acara detik-detik pecahnya pertempuran yang dimulai malam hari. Bom-bom diledakkan dibeberapa sudut yang ditempatkan di Lawang Sewu dan seluruh lampu di wilayah Tugu Muda dipadamkan. Sesi ini berlangsung selama satu menit, sebagai bentuk penghormatan bagi seluruh korban yang gugur demi mempertahankan kemerdekaan RI.
Walau sendirian, tetapi keramahan warga sekitar membuat saya tidak canggung dan malah semakin dekat untuk berinteraksi. Dibalik keramaian saya bertemu teman baru bernama Feri, warga asli Semarang yang gemar mengeksplorasi Nusantara dan fotografi. Saya banyak bertanya padanya karena objek wisata yang saya ketahui sebatas Lawang Sewu atau lumpia yang jadi identitas kulinernya saja. Ia lalu menunjukkan peta wisata Semarang dan dengan cekatan menjelaskan setiap jarak berikut trayek angkutan umumnya.
***

BANGUNAN KEAGAMAAN
Pagi sudah menjelang, saya pun siap berkelana meretas kota Semarang. Hari ini saya akan menyambangi beberapa bangunan keagamaan yang tak hanya menjadi tempat beribadah semata, tetapi juga dikunjungi untuk wisata.
Dengan menggunakan angkutan umum, saya menuju bagian utara kota Semarang karena ingin memanjakan mata menikmati peninggalan kota lama. Saya turun di depan Stasiun Tawang dan berjalan lurus mencari jalan Letjen. Suprapto. Gereja Blenduk, menjadi tujuan pertama. Bentuk kubahnya yang menonjol, membuatnya mudah sekali dikenali.
 
Sempat berdebat kecil dengan penjaga gereja, karena harus memberi uang sebagai syarat masuk. Jelas ini pemerasan sebab tidak tertera dalam papan pengumuman yang ada di pintu masuk gereja.

Saya mengalah dan akan membayar setelah berhasil berkeliling.
 
Gereja yang dibangun pada tahun 1753 merupakan gereja Kristen tertua di Jawa Tengah. Bangunan ini berlaggam kolonial namun masih terjaga dari coreng-moreng make-up modern.

Dengan pilar-pilar kokoh dan tembok tinggi kaku bercat putih serta jendela tinggi penuh dengan kusen di sisi kiri kanannya, tipikal gaya arsitektur Belanda. Interiornya terlihat klasik dan menawan, dari lampu gantung kristal hingga deretan kursi yang apik.

Jangan melewatkan untuk melihat alat musik Orgel yaitu sebuah piano tua namun ditiup, sayangnya sudah tidak bisa digunakan karena rusak. Konon piano ini hanya ada beberapa saja yang tersisa di dunia.
 

Dan selembar uang Rp 10.000 pun berpindah tangan begitu saja kepada sang penjaga gereja!

Saya mampir ke rumah makan legendaris Sate & Gule Kambing 29, yang berdiri tepat di depan Gereja Blenduk. Memesan sate buntel sebagai menu andalan dan segelas teh tawar hangat. Sambil menunggu pesanan datang, saya manfaatkan untuk bertanya-tanya kepada pelayan angkutan umum menuju  Masjid Agung Jawa Tengah.
Menyantap sate di tempat ini serasa kembali ke masa silam. Selain bangunannya yang tua, beberapa foto Semarang tempo dulu yang terpampang berjajar ditembok semakin menambah kesan kuno. Rumah makan ini buka setiap hari mulai pukul 08.00 sampai pukul 21.00, tutup hanya di hari Minggu. Untuk penggemar kuliner sate kambing, wajib mampir!
Saya bergerak melipir menuju destinasi berikutnya, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Masuk ke sini tidak dipungut biaya sepeser pun. Beruntung saya bertemu Priyono, petugas masjid yang berkenan mengajak saya untuk berkeliling. Saya harus mengeluarkan catatan ketika Priyono mulai bercerita tentang Masjid Agung Jawa Tengah.
 
Gerbang megah yang bernama Al Qanathir menyambut kita memasuki halaman masjid. Sebanyak 25 tiang kokoh berdiri dengan rancangan lengkung atasnya mengingatkan saya pada struktur bangunan Romawi kuno. Jumlah tiang ini sebagai simbolisasi jumlah nabi dalam Islam. Sangat filosofis dalam tatanan bentuk dan element.
Keistimewaan masjid yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2006 ini adalah adanya enam payung raksasa otomatis yang menyerupai payung di Masjid Nabawi Madinah. Dibuka setiap shalat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dengan mempertimbangkan kondisi angin.

Masjid Agung ini tak hanya indah di luar, tetapi juga di dalam. Menginjakkan kaki ke bagian dalam, suasana agung menyergap. Gaya arsitektural campuran Jawa, Islam dan Romawi sangat kental. Masjid ini sendiri mampu menampung jemaah hingga sekitar delapan ribu orang.


Cerita Priyono masih berlanjut. Di luar masjid, tepatnya di dekat area parkir terdapat Menara Al Husna yang menjulang setinggi 99 meter. Pengunjung dapat naik dengan membayar infaq sebesar Rp 7.000 per orang. Di puncak menara, kita bisa menikmati keindahan Kota Semarang dari ketinggian. Terdapat juga museum dan kafetaria yang bisa berputar.
Dengan fasilitas sudah sangat lengkap, tidak heran kalau Masjid Agung Jawa Tengah menjadi salah satu ikon masjid megah di Jawa Tengah.
Klenteng Sam Poo Kong menjadi petualangan saya selanjutnya. Berhasil mulus sampai tujuan atas kebaikan Priyono yang mengantarkan saya. Sekalian arah pulang, katanya. 

Harga tiket relatif murah, cukup merogoh kocek Rp 3.000 saja. Memasuki klenteng, dalam hati saya berdecak kagum. Arsitektur cantik, sarat ukir dengan dominasi warna merah dan emas. Atap pelana berundak tiga dan  menciut berujung runcing.


Untuk menghormati umat yang sedang beribadah, saya tidak masuk ke dalam klenteng. Satu-satunya informasi saya dapat hanya dari autobiografi patung Laksamana Cheng Ho yang berdiri kokoh di dekat pintu masuk utama klenteng. Ternyata lokasi ini merupakan bekas sebuah petilasan, yaitu tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok yang beragama Islam  bernama Cheng Ho.

Beruntunglah Semarang yang pernah dijejaki oleh Sang Laksamana!

 
Cuaca mulai mendung, saya tetap nekad pergi menuju bangunan keagamaan yang terakhir. Seorang anak perempuan berseragam putih biru yang sedang menunggu bus menjadi dewi penolong. Berkat informasinya, saya bisa menuju Vihara Pagoda Buddhagaya Watugong.
“Jangan lupa Mas, patokannya seberang jalan Markas Pangdam IV Diponegoro, ya”, timpalnya sopan.
“Pagoda Buddhagaya ini dinobatkan sebagai pagoda tertinggi di Indonesia, jadi memang wajib datang. Saya sudah pernah kesana” lanjutnya.
Saya berlari menyusul bus yang sedang berjalan itu dan naik ke dalamnya. Si kondektur bus dengan lucu memberikan isyarat pada si supir untuk menghentikan laju bus agar saya dapat menaiki bus dengan aman. Dan dengan ramah mempersilakan saya naik dan duduk ke dalam bus. Segera saya membuka jendela dan melambaikan tangan kepada gadis baik itu sebagai ucapan terima kasih.

Di sepanjang jalan, saya memperhatikan tingkah kondektur bus ini. Ia sangat menikmati sekali pekerjaannya. Salam dan senyumnya menunjukkan bahwa dia sedang bekerja sepenuh hati dan dengan tidak main-main. Hingga saya memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Dan  kemudian terjadi perbincangan antara kami berdua. "Supri, Mas" jawabnya saat saya tanyakan namanya. Meski baru pertama bertemu, tapi kami seperti teman yang sudah lama bersama. Ia bahkan bercerita tentang latar belakangnya, keluarganya. Orangnya sopan, jauh dari kesan belagu dan agresif.

Saya pesan kepada Mas Supri untuk memberitahu jika sudah mendekati lokasi. Ternyata posisi viraha mudah ditemukan, karena berada di tepi jalan. Apalagi pagoda ini mempunyai tujuh tingkat sehingga dapat terlihat dari kejauhan. Memasuki area vihara ini gratis, cukup mengisi buku tamu di pos penjaga.

Di pintu depan vihara, ada seorang bapak  sedang menyapu lantai. Bapak ini selalu menjawab “tidak tahu” setiap kali saya bertanya tentang vihara, tetapi pandangannya terus mengikuti kemana pun saya melangkah menelusuri vihara.
Tidak ada orang lain di vihara. Akhirnya, saya hanya pergi berkeliling memutari vihara.
 
Jam sudah menunjuk pukul 17.30, saya harus bergegas pulang. Gerimis mewarnai malam itu, saya pulang berjalan kaki menuju mess dengan hujan-hujanan. Ini perjalanan yang membahagiakan bukan lantaran saya telah berhasil singgah ke beberapa landmark religius kota Semarang, tetapi untuk semua hal sederhana yang saya jumpai. Pak Darta, Feri, penjaga gereja, Priyono, gadis berseragam sekolah, Mas Supri dan bapak penyapu lantai.

Lelah berkeliling membuat saya tidur pulas.

Di mess ini saya mendapatkan pengalaman mistis dan seram, digoda hantu! 
Ditengah kesunyian malam, saya merasakan dengan jelas seperti ada yang perlahan-lahan menarik selimut. Saya tidak berani membuka mata, lutut terasa lemas sekali. Bulu kuduk saya berdiri, dan jantung berdetak kencang. Saya hanya terdiam, tidak berkutik dan membiarkan diri larut dalam ketakutan sampai pagi.

Sinar matahari mulai mengintip dari balik jendela, membuat saya yang sebelumnya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental, beringsut bangun dari tempat tidur. Saya melihat selimut sudah berada di lantai. Tak mau ambil pusing, saya bergegas mandi dan segera mengembalikan kunci  kamar karena petualangan saya di Semarang telah berakhir. GA 231 yang akan mengantar saya ke Jakarta sudah menanti di bandara.

Melihat wajah saya yang pucat, membuat pak Darta bertanya-tanya tentang kesehatan saya.
"Ngga ada apa-apa koq pak, semalam tidur nyenyak" kata saya, nyengir.
Andaikan saya Pinokio, pasti hidung saya sudah panjang mencapai Simpang Lima!

***
SEMARANG SETARA
Pengalaman seru bertahan dengan keterbatasan, menjalin komunikasi dengan orang yang baru dikenal, mendapatkan pola pikir yang lebih terbuka dan melatih untuk mandiri menjadi dinamika bagi seorang solo backpacker.

Terasing sendirian di suatu kota tanpa ada yang dikenal. Tapi saya tak khawatir jika tersesat, justru dari hal-hal tak terduga semacam ini, bisa ditemui banyak hal menarik yang menambah sensasi betualang dan menjadi cerita tersendiri untuk dibawa pulang.
 
 
Semarang mungkin bukan kota yang sempurna, cacat tentu saja ada di sana sini. Tapi entah kenapa, saya jatuh cinta pada kota ini. Saya jatuh cinta pada Semarang, karena kearifan sebagian besar penduduknya yang hidup dalam kesederhanaan dan sopan santun. Ingin merasakan kembali esensi dari sebuah kebersamaan dan kesederhanaan dalam bingkai pariwasata tapi tidak untuk hantu itu. Saya tidak ingin semua titik destinasi didatangi, tanpa mendapatkan esensi dari perjalanan itu sendiri.

***
Tulisan ini disertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tegah  periode 1 Juni - 4 Juli 2015, dengan tema Cinta (Wisata) Jawa Tengah.