Kamis, 19 Juni 2014

Mengecap sedapnya Mie Belitung Atep


Bagi yang sudah datang ke Belitung, pasti pernah mencicipi mie satu ini. Mie kuning disertai potongan emping, tahu, timun, tauge, dan kentang yang disiram kuah kaldu udang. Mie Belitung namanya. Rasanya yang khas dan enak membuat mie ini menjadi salah satu kuliner andalan bumi laskar pelangi yang patut dicoba.
Salah satunya adalah Mie Belitung Atep yang berada tepat di tengah kota, tepatnya di Jalan Sriwijaya, Tanjungpandan. Kedai ini berdiri sejak 1973, letakknya strategis di depan jalan raya. Begitu terkenalnya, tidak heran jika kedai ini selalu ramai dan menjadi favorit bagi para pesohor yang sedang bervakansi ke Belitung. Semua itu diabadikan dalam foto berbingkai yang dipajang berjajar ditembok. Mulai dari Tukul, Cinta Laura, hingga Bondan Winarno pernah berkunjung dan menikmati mie Belitung ini. Bahkan, Mantan Presiden Megawati pun tidak mau melewatkan untuk mengecap sedapnya mie ini.
Cara penyajian kuliner ini tergolong sederhana, mie kuning ditata dengan taburan tauge, irisan timun, potongan kentang rebus, emping melinjo dan terakhir disiram aroma kuah kaldu udang kental yang berwarna kecoklatan. Seekor udang ukuran utuh juga disajikan diatas siraman kuahnya. Kuah mie Belitung dibuat dari kaldu udang yang diramu dengan bumbu-bumbu seperti bawang merah, bawang putih, merica, dan jahe.

Mie Belitung paling nikmat disantap saat panas. Selain rasa mie yang lezat, kuahnya itu memberikan sensasi manis segar dilidah. Akan semakin lengkap jika disajikan berdampingan dengan es jeruk kunci. Kandungan Vitamin C yang terdapat dalam buah jeruk kunci sangat tinggi dan konon baik untuk pencegahan osteoporosis.

Kabar baiknya, ternyata mereka sudah buka perwakilan di daerah Serpong. Saya sendiri belum sempat mencoba apakah memiliki kemiripan rasa yang sama atau tidak. Tapi setidaknya kita tidak perlu harus ke Belitung untuk merasakan sajian berselera ini.
Mie Belitung Atep
Cafe “de Bamboe”
Jl. Anggrek Loka, Blok AL No.2 (Kluster di seberang Eka Hospital)
Sektor 2.3 BSD City, Tanggerang Selatan
Hp. 0859 4522 90089 (xl)
0821 1042 9008 (simpati)

Proud being an Indonesian,
standarmiring

Senin, 02 Juni 2014

Keindahan Bahari Negeri Laskar Pelangi

Bahari Negeri Laskar Pelangi
Belitung terus berdadan. Setidaknya itu yang saya lihat saat kunjungan yang kedua kali. Potensi wisatanya saat ini sudah cukup tergarap maksimal, terutama pasca ketenaran film Laskar Pelangi. Pulau Belitung sendiri terletak di sisi timur Pulau Sumatra, dan merupakan bagian dari provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Pulau yang dulunya terkenal sebagai penghasil timah ini, memiliki pantai-pantai yang bisa dikatakan ’belum tersentuh pulasan’. Namun yang tersembunyi inilah yang justru menyimpan kencantikan asli.

Untaian batu-batu granit
Pantai Tanjung Tinggi merupakan salah satu lokasi pembuatan Film Laskar Pelangi, karya novelis Andrea Hirata. Pantai ini langsung menyeret perhatian dan keinginan publik untuk melihat secara langsung. Tebaran bebatuan granit artistik berukuran besar yang menyembul ke atas permukaan lautan terserak namun indah. Coba panjat pahatan granit itu dan rasakan sensasi memandangi lukisan alam yang memesona. Kilau air berwarna biru kehijauan terpapar di depan mata. Pantai ini juga menjadi tempat yang pas buat kita untuk berburu sunset.

Pesona Pantai Tanjung Tinggi siang hari

Sunset di Tanjung Tinggi
Keindahan Belitung tidak hanya sampai di Pantai Tanjung Tinggi saja. Dari Pantai Tanjung Kelayang, menggunakan perahu motor nelayan kita bisa melakukan wisata pulau untuk mengunjungi pulau-pulau. Dan berawal dari tempat ini, keelokan alam Belitung dimulai. Pulau-pulau karakteristik berpasir putih yang dihiasi bongkahan granit berbagai ukuran dan dari sinilah batu-batu ini beroleh nama. Batu Belayar karena bagai deretan layar perahu, Batu Penyu karena mirip seekor penyu sedang mengapung, Pulau Burung karena berdiri kokoh batu besar berbentuk kepala burung, dan yang menjadi favorit pengunjung termasuk saya, Pulau Pasir. Pulau yang berupa hamparan pasir putih halus ini hanya terlihat ketika air sedang surut dan kita bisa mencari dan bermain bintang laut. Sesuai dengan namanya, pulau ini isinya hanya pasir. Tidak ada batu granit atau pohon kelapa bertengger.

Laut bersih berwarna hijau diapit cakrawara biru 
Sepanjang mata memandang tampak air laut yang bersih berwarna hijau dan biru turquoise diapit cakrawara biru dengan awam gemawan di sana sini ditingkahi nyiur yang melengkung dengan indahnya. Pemandangan indah itu tersaji dalam pelayaran kurang lebih 30 menit menuju Pulau Lengkuas. Perjalanan mengarungi lautan juga menyenangkan karena berarus tenang dan nyaris tanpa alunan ombak.

 
Pulau Lengkuas
Inilah ikon populer Belitung. Rasanya, berwisata tak puas jika tak mengunjungi destinasi tersebut.  Menurut saya, saat yang paling tepat untuk berkunjung ke Pulau Lengkuas adalah di pagi hari menjelang siang, terutama pada akhir pekan atau hari libur. Karena dipagi hari pulau masih sepi sehingga kita dapat menikmati suasana yang tenang dan cuaca yang cenderung lebih bersahabat.
Pulau Lengkuas, ikon populer Belitung
Di Pulau Lengkuas, selain menikmati pemandangan pantai yang indah, saya tidak melewatkan kesempatan menikmati pemandangan bawah laut dengan snorkeling. Beragam spesies hayati laut mengelilingi para penyelam dengan riuhnya.
 
Di sini juga berdiri kokoh mercusuar peninggalan Belanda buatan tahun 1882 dan masih aktif berfungsi hingga kini untuk memandu kapal-kapal yang akan melewati Belitung. Sebelum memasuki bangunan mercusuar yang berkonstruksi baja, pengunjung harus mencuci kaki dengan air tawar terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan air laut dapat menyebabkan karat pada bangunan, lalu melepas sandal dan meninggalkannya di pintu masuk.
Mercusuar peninggalan Belanda
Bangunan ini semua dindingnya mengkilat warna putih dengan lantai diberi dasar warna merah dan setiap lantai ada satu jendela menghadap laut. Jerih payah saya mendaki tangga putar delapan belas tingkat yang semakin keatas semakin sempit dan curam akhirnya terbayar lunas. Dari atas mercusuar, saya dapat melihat hamparan pantai berpasir putih, air laut yang jernih berwarna kehijauan, untaian batu-batu granit raksasa dengan beberapa kapal tradisional bersandar dan pepohonan rimbun yang dikelilingi perairan jernih tak berombak.
Dari sudut jendela mercusuar
Dari atas mercusuar
Jangan lupa untuk menenteng kamera, kecantikan Belitung memang terlalu sayang jika dilewatkan dalam jepretan kamera. Kalau sudah kesana, siapkan baterai kamera, jangan sampai kehabisan di tengah perjalanan dan kehilangan banyak sudut menarik. Eksotisme alam Belitung bagai magnet yang menarik turis mana pun untuk mendekat.

Proud being an Indonesian,
standarmiring

Kamis, 24 April 2014

Tertambat di Resort World Sentosa Bareng PergiDulu

Citra Singapura identitik sebagai negara maju dengan potensi pariwisata yang besar dan wisata belanja yang super lengkap, memang selalu padat dikunjungi wisatawan sepanjang tahun. Tak heran jika Singapura masih menjadi urutan teratas sebagai destinasi favorit bagi pengunjung dari Tanah Air, khususnya bagi yang baru memiliki paspor.

Untuk urusan wisata, Singapura kelihatannya tidak main-main. Tidak dapat dipungkiri, selain terkenal sebagai surga belanja, Singapura juga menjanjikan surga bagi pecinta rekreasi wisata. Bagi saya, Singapura seolah tak pernah kehabisan pesona. Sudah tiga kali menjelajahi Singapura, tapi masih memendam hasrat untuk datang lagi. Ada satu lokasi yang ingin saya kupas dalam arti sebenarnya yaitu Resort World Sentosa. Selama ini hanya bisa foto di depan Voyage de la Vie, Resort World Casino dan Universal Studios Singapore. Maklum saya wisatawan dengan anggaran minim tapi bermimpi ingin mengecap semua kenikmatan yang ada di Resort World Sentosa.

Bergaya di depan Voyage de la Vie & Casino

Resort World Sentosa memberi kenyamanan bagi setiap pengunjung yang ingin mengeksplorasinya. Tinggal naik monorel atau bus, semua tujuan bisa direngkuh. Monorel Sentosa Express bisa ditemukan di dalam mal VivoCity lantai 3. Untuk halte bus bisa juga dari VivoCity, nanti naik bus RWS8 yang tujuannya ke Resort World Sentosa. Semuanya dengan tarif yang masih ramah dikantong. Untuk sampai ke VivoCity sendiri, bisa naik MRT jalur ungu atau kuning dan turun di stasiun Harbourfront. Dari stasiun Harbourfront, cari pintu keluar ke arah VivoCity.



Mengunjungi Resort World Sentosa tidak cukup hanya 1-2 jam, setidaknya itu yang saya rasakan. Meski hanya keliling diluarnya saja, rasa lelah tidak dapat dipungkiri. Saya pun beberapa kali mencari tempat berteduh, sekadar untuk melemaskan kaki. Ditemani bisikan angin dan tarian nyiur kelapa semakin menambah nikmatnya suasana. Sejenak saya memejamkan mata, membayangkan semua kemegahan Resort World Sentosa yang sudah saya datangi. Imajinasi saya berselancar...

Siapa yang ingin mencicipi semua wahana penuh aksi di Universal Studios Singapura? Ada Transformers The Ride: The Ultimade 3D Battle, Revenge of the Mummy, Jurasic Park Rapids Adventure dan masih banyak lagi. Total, ada 7 (tujuh) zona yang bisa dicicipi dengan beragam pertunjukan hiburan yang sayang dilewatkan.

Siapa yang ingin dicium lumba-lumba hidung botol Indo-Pacific yang mengagumkan di Dolphin Island? Tidak perlu takut karena lumba-lumba disini sangat bersahabat.  
 
Siapa yang ingin melihat S.E.A Aquarium yang merupakan akuarium ikan terbesar di dunia dan sudah tercatat di rekor dunia Guiness?
 
Siapa yang ingin snorkeling bersama ikan-ikan di Rainbow Reef - Adventure Cove Water Park? Melepas penat dengan menyelam dan bermain air sepuasnya.

Siapa yang ingin membiarkan dirinya menjadi raja dua hari di salah satu hotel yang menjadi impian setiap wisatawan yang berkunjung ke Resort World Sentosa?
 
Ah, beginilah seharusnya hidup, menjadi pemimpi! Gelak tawa para bocah memecah lamunan. Saya pun meninggalkan tempat ini, dengan berbisik pada diri sendiri ”suatu saat nanti saya pasti akan masuk satu persatu wahana dan fasilitas ini”

Hati saya tertambat sesaat di Resort World Sentosa. Suatu hari, saya harus kembali!

***

Mimpi itu sudah terkubur lama sampai akhirnya satu malam saya melihat twitt @PergiDulu dan @rwsentosaID yang akan mengadakan liburan gratis ke Resort World Sentosa. Apakah saya dapat merealisasikan mimpi-mimpi itu? Only  @PergiDulu dan @rwsentosaID can answer!

Saya baru empat bulan membuat blog serta akun twitter, dan @PergiDulu adalah salah satu kiblat saya dalam dunia traveling. Punggawa dari @PergiDulu adalah suami isteri bernama Kang Adam dan Teteh Susan. Blognya, www.pergidulu.com juga menjadi referensi travel yang wajib dibaca bagi penjelajah pemula. Bahasa ringan, berita informatif dan tidak menggurui. Sila baca jika tidak percaya, disini tautannya. Alasan terbesar saya ingin liburan bareng PergiDulu ke Resort World Sentosa itu sederhana, hanya ingin jadi bagian dari cerita perjalanan wisata pasangan kompak ini.

Dan bagi rekan-rekan blogger yang ingin liburan gratis bareng PergiDulu ke Resort World Sentosa simak informasi selengkapnya di sini. Tak perlu takut tersaingi, justru dengan ini akan lebih banyak orang yang jadi senang menulis.
 
Pertama, 05-07 Oktober 2010
 
Kedua, 07-09 Januari 2011
 
Ketiga, 05-09 Mei 2011
 
Keempat, 09-11 Mei 2014 ?

Salam,
standarmiring
"Tidak mengambil apa-apa dari negara mereka, selain gambar, dan tidak meninggalkan apa-apa selain bekas kaki"

Kamis, 10 April 2014

48 Jam di Purwokerto

 
 
Siapa bilang berlibur harus mengambil cuti berhari-hari? Saya, berserta beberapa teman membutuhkan waktu kurang dari 48 jam saja untuk mengenyam liburan di Purwokerto. Itu sudah termasuk perjalanan Jakarta ke Purwokerto, mengunjungi aneka wisata menarik seperti wisata religi, wisata alam, wisata museum, hingga mencicipi wisata kulinernya yang menggoda.
***

Dua minggu sebelum liburan, kami sempat menghubungi salah satu rekan kerja kami, Mas Budi, yang kebetulan memiliki rumah di Kroya, Jawa Tengah. Rencananya, kami akan menginap satu malam di kediamannya. Maklum, perjalanan ini dilakukan ala backpaker alias wisatawan dengan modal minim. Jadi seminimal mungkin harus irit bujet. Itinirerary pun sudah kami susun dengan terencana.

Sebelum menjejak kota sejuk Purwokerto, sudah terbayang aneka kuliner, seperti soto sokaraja, tempe mendoan, gethuk goreng dan aneka makanan khas unik lain. Ah, mantap. 

Pagi hari yang cerah, saya dan tiga orang teman sudah berkumpul di Stasiun Kereta Api Jatinegara. Bermodal tiket sebesar Rp28.000 ditangan, kereta api kelas ekonomi jurusan Jakarta – Kutoarjo ini akan membawa kami menginjakkan kaki di Jawa Tengah. Sepanjang perjalanan, mata kami disuguhkan berbagai pemandangan menarik.

Di dalam kereta, kami pun disambut tumpah ruah aktivitas sosial, hal yang lumrah kita jumpai jika naik kereta api kelas bawah. Para pedagang yang silih berganti menjajakan barang dagangannya. Kaum muda mencoba peruntungan dengan mengamen. 
 
 
Pemandangan di luar kereta pun tak kalah indahnya. Melihat hamparan sawah hijau, ada juga yang menguning dan siap untuk dituai, pepohonan rindang yang menjulang tinggi, dan langit beselimut kabut cantik sungguh memanjakan mata. Rasa kantuk yang sebelumnya khawatir akan mendera kami menguap lenyap seketika. Perjalanan dari Jakarta menuju Kroya pun sepertinya menjadi sangat singkat.

Senja menggelayut seakan menyambut kedatangan kami saat tiba di Stasiun Kroya. Terlihat Mas Budi beserta Ilham -anaknya- dan Farid- teman kami yang berangkat duluan- telah menunggu di bibir peron. Dengan menggunakan transportasi dokar -kendaraan yang dijalankan dengan tenaga kuda-, beramai-ramai kami menuju rumah Mas Budi yang sejuk dan asri. 

Sisa hari ini kami habiskan dengan bersepeda keliling rumah, membeli bekal untuk persiapan ke Purwokerto esok harinya, makan malam oseng-oseng bunga kejombrang dan mendoan sambil manyantap kudapan khas Purwokerto bernama Themlek yakni makanan yang terbuat dari ampas tahu. 
***
Pagi sudah menjelang, kami pun siap berkelana meretas kota Purwokerto. Topi, payung, baju ganti, perlengkapan salat, serta pasokan makanan dan minuman sudah dimasukan ke dalam mobil sewaan. Kami memang menggunakan mobil sewaan karena setelah dihitung-hitung, jatuh biaya perorangnya sama saja dengan naik kendaraan umum. Kelebihan lain, sewa mobil dapat mempersingkat waktu dan kapan pun bisa berhenti sesuai keinginan kami.

Cuaca hari itu sedikit tidak bersahabat. Langit terlihat muram dan matahari masih enggan menyapa, tetapi kami tetap optimis melanjutkan petualangan. Di tengah perjalanan kami melewati Pabrik Gula Kaliori. Saya sempat merengek ke teman-teman agar berhenti dan masuk sejenak memotret bangunan tua yang berkesan angker serta sudah tidak berfungsi lagi, sayangnya mereka dengan cepat menangkisnya. ”Seram!” teriak mereka kompak. 

Setelah dua jam, sampailah kami ke tujuan perdana, yakni Gua Maria Kaliori. Masuk ke gua ini tidak dipungut biaya alias gratis. Ketika sampai, kita akan menemukan sebuah pendopo bertuliskan Gua Maria Kaliori diatasnya. Di pintu masuk, ada patung Yesus yang merentangkan kedua tangannya. Yang istimewa, Gua Maria itu diberkati langsung oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II pada tahun 1989. Setelah puas berkeliling, kami bergerak melipir menuju destinasi berikutnya, Baturraden. 
 
 
Objek wisata Baturraden memang menjajikan surga bagi pengunjung untuk melepas lelah. Terletak di sebelah selatan kaki Gunung Slamet, Baturraden berhawa sejuk, dengan udara yang segar dan cenderung dingin. 

Kami tidak sudi melewatkan ritual wajib di sana, yakni mandi di kolam sumber air panas dan pijat refleksi belerang. Tarifnya pun cukup murah, yaitu Rp15.000 hingga Rp30.000. Kedua aktivitas itu ada di Pancuran Pitu (Pancuran Tujuh), kami tempuh sekitar empat jam dari pintu gerbang. 

Ada kepercayaan yang menyebutkan jika lewat dari pukul 13.00, hujan akan mengguyur, tetapi hanya sebatas area lokawisata andalan Purwokerto tersebut. Bukan sekadar isapan jempol belaka, tepat pukul 13.00, hujan memang turun dengan lebat. Meski kecewa, setidaknya, kami sudah bisa menapaki Pancuran Pitu, merendam kaki dan mencuci muka dengan air belerang. Tak lupa, kami juga makan siang di atas ketinggian sambil memandang kota Purwokerto dan Cilacap. 

Kami berteduh menunggu hujan reda. Namun, karena keterbatasan waktu, kami terpaksa nekat melanjutkan perjalanan turun menggunakan jasa ojek payung dari anak-anak sekitar. Sampai di parkiran mobil, kami pun langsung tancap gas meninggalkan Baturraden membelah jalan beraspal. Anehnya, jarak beberapa meter setelah keluar dari area wisata Baturraden, jalanan tampak kering. Tidak ada tanda-tanda hujan turun di daerah itu!
 

Museum Bank Rakyat Indonesia menjadi tempat singgah kami selanjutnya. Museum ini terletak di jalan Jendral Soedirman, didirikan oleh Raden Aria Wirjaatmadja pada 1895 dengan namaDe Purwokertche Hulp en Spaarbank der Inlandche Bestuurs Ambtenaren. Sebagai bentuk penghargaan, dibagian depan, berdiri patung tokoh itu.

Sebenarnya jam berkunjung sudah tutup. Akan tetapi, setelah negoisasi cukup alot dengan Pak Satpam Bank BRI yang ada di depan museum, kami diperbolehkan untuk masuk. Meski tidak ada pemandu, kami tetap apresiatif melihat koleksi benda-benda kuno di museum berlantai dua itu, seperti uang koin dan kertas, berbagai mesin penghitung, telepon, lemari brankas, pakaian kerja dari masa kemasa, lukisan potret diri R.Wirya Atmadja, dan barang-barang lain yang menunjukkan perkembangan BRI.

Petualangan di Purwokerto kami tuntaskan dengan makan soto sokaraja. Soto ini memiliki ciri khas yaitu kuah soto yang bercampur kerupuk dan bumbu sambal kacang yang kental serta irisan ketupat sebagai pengganti nasi. Meski sudah banyak dijual di Jakarta, tapi menikmati soto ditempat asli sejatinya merupakan sensasi tersendiri. Soto ini berjajar rapi di sepanjang jalan di Sokoraja. 

Di tempat tersebut pula, kami menyempatkan membeli oleh - oleh khas Purwokerto yaitu gethuk goreng. Makanan berbahan dasar singkong itu berbentuk gumpalan warna cokelat tua. Sekilas memang tak menarik mata, tetapi begitu kami mencoba menggigitnya, rasa manis gula jawa bercampur singkong yang telah dihaluskan membuat lidah terasa dimanjakan. Sluurpp. Untuk lokasinya hanya berseberangan dengan tempat kami makan soto. 

Tidak terasa, hari sudah mulai gelap. Sore menjelang malam pun tidak bisa dielakan. Kami harus segera bergegas pulang ke rumah Mas Budi. Kereta api yang mengantar kami ke Jakarta sudah menanti. 
***
Malam menjadi tua. Angin yang terhembus semakin terasa seperti menggigit tulang. Kami pun melangkah pulang diiringi deru suara mesin kereta api. ”See you again, Purwokerto” 

Ada satu keinginan tertunda hingga kini yang belum sempat saya lakukan, yakni mendatangi pabrik gula kaliori. Bangunan itu bagus untuk dijadikan objek foto sekaligus uji nyali.
Ada yang berminat menemani saya?

Proud being an Indonesian,
standarmiring

::Tulisan ini dimuat dimajalah Travelxpose edisi September 2011. Untuk wisata Baturraden sendiri pernah dimuat dimajalah Reader’s Digest Indonesia edisi Oktober 2009 dengan judul Pijat Lumpur Belerang Baturraden ::

(Artikel wisata ini menjadi salah satu sumber referensi buku TE-WE (Travel Writer) yang ditulis oleh Gol A Gong (cetakan pertama Februari 2012). Gol A Gong adalah pionir penulis perjalanan dan novel serialnya yaitu Balada Si Roy menjadi best seller tahun 90-an)
 

RDI edisi Oktober 2009
Travelxpose edisi September 2011