Kamis, 02 Juli 2015

Mengakrabi Semarang


 
Tanpa teman perjalanan, tanpa itinerary, tanpa informasi situs pencari di internet, dan tanpa mengetahui apa yang akan terjadi nanti. Prinsip saya, sejauh bisa berbicara, mendengar dan melihat kenapa takut nyasar?
***
Dan saya pun menguji prinsip ini setahun yang lalu.

Memilih Semarang sebagai kota tujuan, karena baru pertama kali saya menginjakkan kaki. Saya juga ingin mengenal budaya lokalnya, karakter masyarakat, dan potensi wisata yang dimiliki. Tentu saja yang tak boleh ketinggalan adalah mencicipi makanan khasnya.  Selama 3 hari 2 malam  membiarkan kehidupan saya mengalir tanpa ada rencana apalagi persiapan yang matang. Ini awal solo backpacking saya pertama dalam arti yang sebenarnya.
Perjalanan ke Semarang menghabiskan waktu 1 jam dengan lancar dan nyaman karena menggunakan Garuda Indonesia. Kabar baiknya, maskapai kebanggaan Indonesia tersebut kini melayani sembilan kali penerbangan dalam sehari menuju Semarang. Tentu menjadi semakin banyak pilihan waktunya. 

Meski trip ini bemodal minim, tapi untuk sisi keamanan dan keselamatan penerbangan, saya tetap mempercayakan layanan dari Garuda Indonesia.

Tiba di bandara Ahmad Yani, saya langsung berjalan kaki keluar mencari kendaraan umum dan menghiraukan tawaran tukang taxi yang terus mengganggu. Ternyata jarak bandara dengan tempat menunggu kendaraan umum lumayan jauh. Cukup menguras tenaga untuk ukuran tubuh tambun seperti saya, ditambah lagi dengan beban ransel yang mencangklong dipundak. Namun ada sensasi yang berbeda ketika berjalan sendiri ketempat yang belum pernah saya kunjungi dan belum tahu aktivitas apa yang akan saya lakukan sesampainya di lokasi.
PERTEMPURAN LIMA HARI
Tujuan pertama adalah menemukan penginapan. Pada awalnya saya ingin bermalam di masjid. Selain karena budget yang terbatas, saya juga bisa mengorek lebih banyak informasi dan isu-isu yang tengah hangat. Namun mempertimbangkan banyak aspek, akhirnya saya memutuskan untuk menginap di mess TNI. Saya mengetahui keberadaan tempat ini dari seorang backpacker ketika liburan di Bali beberapa tahun yang lalu. Bermodal secuil informasi itu, saya tuju mess TNI. Setelah bertanya dengan tukang ojek, ternyata lokasinya mudah dijangkau, hanya sekitar 100 meter dari Simpang Lima. Begitu sampai di Simpang Lima, tinggal jalan kaki menyusuri Jalan Gajah Mada. Sampai lampu merah pertama, belok kanan sekitar 10 meter. Menginap di mess akan merasakan atmosfer yang berbeda. Setidaknya itu sudah terasa sejak saya menjejak pintu masuknya yang khas. Sambutan masa silam langsung menyergap. Bangunan jaman kolonial yang masih dipertahankan walaupun sebagian besar sudah kusam.
Soal harga, mess TNI ini sangat murah. Saya membayar sewa sebesar Rp.80.000/malam untuk satu kamar dengan AC, lemari, 2 bed dan kamar mandi di luar. Saya berinisiatif mencari kawan untuk sharing cost, tapi rupanya baru saya saja yang menginap di sini.  Mess ini milik TNI, jadi jadwal harus disesuaikan saat anggota TNI tidak ada yang menginap.
Saya bertanya kepada penjaga mess, Pak Darta namanya, tentang kegiatan menarik untuk merasakan denyut kota Semarang dikala malam. Beruntung saya datang tepat saat peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Dengan semangat Pak Darta bercerita mengenai peringatan ini. “Biasanya saya ikut upacara, namun tahun ini dapat giliran jaga mess,” ujarnya. Sudah menjadi agenda tahunan setiap tanggal 14 Oktober diperingati oleh masyarakat kota Semarang sebagai peringatan Perang Lima Hari, dimana dulu sepanjang tanggal 14 – 18 Oktober 1945, rakyat Semarang bahu membahu melawan tentara Jepang setelah pembunuhan dr. Kariadi yang ditembak secara keji. Upacara selalu diadakan di kawasan Tugu Muda.
Setelah mendapatkan kunci, saya berjalan menyusuri lorong mencari kamar yang akan saya inapi. Aroma mistis menghantui saya, terlebih ketika akan menuju kamar mandi. Lokasinya yang berada persis menyempil di ujung lorong semakin memberi efek seram. Namun karena niat liburan begitu besar, saya acuhkan rasa takut itu dan segera bergegas menuju Tugu Muda.
Seluruh akses menuju Tugu Muda ditutup dari sore sampai selesainya upacara pada pukul 20.30 WIB. Semua masyarakat tumpah ruah di jalan demi menyaksikan acara detik-detik pecahnya pertempuran yang dimulai malam hari. Bom-bom diledakkan dibeberapa sudut yang ditempatkan di Lawang Sewu dan seluruh lampu di wilayah Tugu Muda dipadamkan. Sesi ini berlangsung selama satu menit, sebagai bentuk penghormatan bagi seluruh korban yang gugur demi mempertahankan kemerdekaan RI.
Walau sendirian, tetapi keramahan warga sekitar membuat saya tidak canggung dan malah semakin dekat untuk berinteraksi. Dibalik keramaian saya bertemu teman baru bernama Feri, warga asli Semarang yang gemar mengeksplorasi Nusantara dan fotografi. Saya banyak bertanya padanya karena objek wisata yang saya ketahui sebatas Lawang Sewu atau lumpia yang jadi identitas kulinernya saja. Ia lalu menunjukkan peta wisata Semarang dan dengan cekatan menjelaskan setiap jarak berikut trayek angkutan umumnya.
***

BANGUNAN KEAGAMAAN
Pagi sudah menjelang, saya pun siap berkelana meretas kota Semarang. Hari ini saya akan menyambangi beberapa bangunan keagamaan yang tak hanya menjadi tempat beribadah semata, tetapi juga dikunjungi untuk wisata.
Dengan menggunakan angkutan umum, saya menuju bagian utara kota Semarang karena ingin memanjakan mata menikmati peninggalan kota lama. Saya turun di depan Stasiun Tawang dan berjalan lurus mencari jalan Letjen. Suprapto. Gereja Blenduk, menjadi tujuan pertama. Bentuk kubahnya yang menonjol, membuatnya mudah sekali dikenali.
 
Sempat berdebat kecil dengan penjaga gereja, karena harus memberi uang sebagai syarat masuk. Jelas ini pemerasan sebab tidak tertera dalam papan pengumuman yang ada di pintu masuk gereja.

Saya mengalah dan akan membayar setelah berhasil berkeliling.
 
Gereja yang dibangun pada tahun 1753 merupakan gereja Kristen tertua di Jawa Tengah. Bangunan ini berlaggam kolonial namun masih terjaga dari coreng-moreng make-up modern.

Dengan pilar-pilar kokoh dan tembok tinggi kaku bercat putih serta jendela tinggi penuh dengan kusen di sisi kiri kanannya, tipikal gaya arsitektur Belanda. Interiornya terlihat klasik dan menawan, dari lampu gantung kristal hingga deretan kursi yang apik.

Jangan melewatkan untuk melihat alat musik Orgel yaitu sebuah piano tua namun ditiup, sayangnya sudah tidak bisa digunakan karena rusak. Konon piano ini hanya ada beberapa saja yang tersisa di dunia.
 

Dan selembar uang Rp 10.000 pun berpindah tangan begitu saja kepada sang penjaga gereja!

Saya mampir ke rumah makan legendaris Sate & Gule Kambing 29, yang berdiri tepat di depan Gereja Blenduk. Memesan sate buntel sebagai menu andalan dan segelas teh tawar hangat. Sambil menunggu pesanan datang, saya manfaatkan untuk bertanya-tanya kepada pelayan angkutan umum menuju  Masjid Agung Jawa Tengah.
Menyantap sate di tempat ini serasa kembali ke masa silam. Selain bangunannya yang tua, beberapa foto Semarang tempo dulu yang terpampang berjajar ditembok semakin menambah kesan kuno. Rumah makan ini buka setiap hari mulai pukul 08.00 sampai pukul 21.00, tutup hanya di hari Minggu. Untuk penggemar kuliner sate kambing, wajib mampir!
Saya bergerak melipir menuju destinasi berikutnya, Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Masuk ke sini tidak dipungut biaya sepeser pun. Beruntung saya bertemu Priyono, petugas masjid yang berkenan mengajak saya untuk berkeliling. Saya harus mengeluarkan catatan ketika Priyono mulai bercerita tentang Masjid Agung Jawa Tengah.
 
Gerbang megah yang bernama Al Qanathir menyambut kita memasuki halaman masjid. Sebanyak 25 tiang kokoh berdiri dengan rancangan lengkung atasnya mengingatkan saya pada struktur bangunan Romawi kuno. Jumlah tiang ini sebagai simbolisasi jumlah nabi dalam Islam. Sangat filosofis dalam tatanan bentuk dan element.
Keistimewaan masjid yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2006 ini adalah adanya enam payung raksasa otomatis yang menyerupai payung di Masjid Nabawi Madinah. Dibuka setiap shalat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dengan mempertimbangkan kondisi angin.

Masjid Agung ini tak hanya indah di luar, tetapi juga di dalam. Menginjakkan kaki ke bagian dalam, suasana agung menyergap. Gaya arsitektural campuran Jawa, Islam dan Romawi sangat kental. Masjid ini sendiri mampu menampung jemaah hingga sekitar delapan ribu orang.


Cerita Priyono masih berlanjut. Di luar masjid, tepatnya di dekat area parkir terdapat Menara Al Husna yang menjulang setinggi 99 meter. Pengunjung dapat naik dengan membayar infaq sebesar Rp 7.000 per orang. Di puncak menara, kita bisa menikmati keindahan Kota Semarang dari ketinggian. Terdapat juga museum dan kafetaria yang bisa berputar.
Dengan fasilitas sudah sangat lengkap, tidak heran kalau Masjid Agung Jawa Tengah menjadi salah satu ikon masjid megah di Jawa Tengah.
Klenteng Sam Poo Kong menjadi petualangan saya selanjutnya. Berhasil mulus sampai tujuan atas kebaikan Priyono yang mengantarkan saya. Sekalian arah pulang, katanya. 

Harga tiket relatif murah, cukup merogoh kocek Rp 3.000 saja. Memasuki klenteng, dalam hati saya berdecak kagum. Arsitektur cantik, sarat ukir dengan dominasi warna merah dan emas. Atap pelana berundak tiga dan  menciut berujung runcing.


Untuk menghormati umat yang sedang beribadah, saya tidak masuk ke dalam klenteng. Satu-satunya informasi saya dapat hanya dari autobiografi patung Laksamana Cheng Ho yang berdiri kokoh di dekat pintu masuk utama klenteng. Ternyata lokasi ini merupakan bekas sebuah petilasan, yaitu tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok yang beragama Islam  bernama Cheng Ho.

Beruntunglah Semarang yang pernah dijejaki oleh Sang Laksamana!

 
Cuaca mulai mendung, saya tetap nekad pergi menuju bangunan keagamaan yang terakhir. Seorang anak perempuan berseragam putih biru yang sedang menunggu bus menjadi dewi penolong. Berkat informasinya, saya bisa menuju Vihara Pagoda Buddhagaya Watugong.
“Jangan lupa Mas, patokannya seberang jalan Markas Pangdam IV Diponegoro, ya”, timpalnya sopan.
“Pagoda Buddhagaya ini dinobatkan sebagai pagoda tertinggi di Indonesia, jadi memang wajib datang. Saya sudah pernah kesana” lanjutnya.
Saya berlari menyusul bus yang sedang berjalan itu dan naik ke dalamnya. Si kondektur bus dengan lucu memberikan isyarat pada si supir untuk menghentikan laju bus agar saya dapat menaiki bus dengan aman. Dan dengan ramah mempersilakan saya naik dan duduk ke dalam bus. Segera saya membuka jendela dan melambaikan tangan kepada gadis baik itu sebagai ucapan terima kasih.

Di sepanjang jalan, saya memperhatikan tingkah kondektur bus ini. Ia sangat menikmati sekali pekerjaannya. Salam dan senyumnya menunjukkan bahwa dia sedang bekerja sepenuh hati dan dengan tidak main-main. Hingga saya memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Dan  kemudian terjadi perbincangan antara kami berdua. "Supri, Mas" jawabnya saat saya tanyakan namanya. Meski baru pertama bertemu, tapi kami seperti teman yang sudah lama bersama. Ia bahkan bercerita tentang latar belakangnya, keluarganya. Orangnya sopan, jauh dari kesan belagu dan agresif.

Saya pesan kepada Mas Supri untuk memberitahu jika sudah mendekati lokasi. Ternyata posisi viraha mudah ditemukan, karena berada di tepi jalan. Apalagi pagoda ini mempunyai tujuh tingkat sehingga dapat terlihat dari kejauhan. Memasuki area vihara ini gratis, cukup mengisi buku tamu di pos penjaga.

Di pintu depan vihara, ada seorang bapak  sedang menyapu lantai. Bapak ini selalu menjawab “tidak tahu” setiap kali saya bertanya tentang vihara, tetapi pandangannya terus mengikuti kemana pun saya melangkah menelusuri vihara.
Tidak ada orang lain di vihara. Akhirnya, saya hanya pergi berkeliling memutari vihara.
 
Jam sudah menunjuk pukul 17.30, saya harus bergegas pulang. Gerimis mewarnai malam itu, saya pulang berjalan kaki menuju mess dengan hujan-hujanan. Ini perjalanan yang membahagiakan bukan lantaran saya telah berhasil singgah ke beberapa landmark religius kota Semarang, tetapi untuk semua hal sederhana yang saya jumpai. Pak Darta, Feri, penjaga gereja, Priyono, gadis berseragam sekolah, Mas Supri dan bapak penyapu lantai.

Lelah berkeliling membuat saya tidur pulas.

Di mess ini saya mendapatkan pengalaman mistis dan seram, digoda hantu! 
Ditengah kesunyian malam, saya merasakan dengan jelas seperti ada yang perlahan-lahan menarik selimut. Saya tidak berani membuka mata, lutut terasa lemas sekali. Bulu kuduk saya berdiri, dan jantung berdetak kencang. Saya hanya terdiam, tidak berkutik dan membiarkan diri larut dalam ketakutan sampai pagi.

Sinar matahari mulai mengintip dari balik jendela, membuat saya yang sebelumnya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental, beringsut bangun dari tempat tidur. Saya melihat selimut sudah berada di lantai. Tak mau ambil pusing, saya bergegas mandi dan segera mengembalikan kunci  kamar karena petualangan saya di Semarang telah berakhir. GA 231 yang akan mengantar saya ke Jakarta sudah menanti di bandara.

Melihat wajah saya yang pucat, membuat pak Darta bertanya-tanya tentang kesehatan saya.
"Ngga ada apa-apa koq pak, semalam tidur nyenyak" kata saya, nyengir.
Andaikan saya Pinokio, pasti hidung saya sudah panjang mencapai Simpang Lima!

***
SEMARANG SETARA
Pengalaman seru bertahan dengan keterbatasan, menjalin komunikasi dengan orang yang baru dikenal, mendapatkan pola pikir yang lebih terbuka dan melatih untuk mandiri menjadi dinamika bagi seorang solo backpacker.

Terasing sendirian di suatu kota tanpa ada yang dikenal. Tapi saya tak khawatir jika tersesat, justru dari hal-hal tak terduga semacam ini, bisa ditemui banyak hal menarik yang menambah sensasi betualang dan menjadi cerita tersendiri untuk dibawa pulang.
 
 
Semarang mungkin bukan kota yang sempurna, cacat tentu saja ada di sana sini. Tapi entah kenapa, saya jatuh cinta pada kota ini. Saya jatuh cinta pada Semarang, karena kearifan sebagian besar penduduknya yang hidup dalam kesederhanaan dan sopan santun. Ingin merasakan kembali esensi dari sebuah kebersamaan dan kesederhanaan dalam bingkai pariwasata tapi tidak untuk hantu itu. Saya tidak ingin semua titik destinasi didatangi, tanpa mendapatkan esensi dari perjalanan itu sendiri.

***
Tulisan ini disertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tegah  periode 1 Juni - 4 Juli 2015, dengan tema Cinta (Wisata) Jawa Tengah.

Senin, 18 Mei 2015

P Y A I N E M O

Puncak Pyainemo
Bicara provinsi Papua Barat, tidak bisa tidak menyebut Raja Ampat. Cerita keindahan kepulauan di bagian ujung Kepala Burung Pulau Papua ini begitu menggaungnya, tidak hanya di bawah laut tapi juga panorama daratannya. Tak heran kalau banyak orang bilang berkunjung ke Raja Ampat seperti melihat surga kecil yang jatuh ke bumi.
 
***
Kapal cepat melabuh di dermaga kayu berukuran tidak terlalu luas. Padangan saya berkeliling. Baru menjejakan kaki di dermaga tapi sudah disuguhi keindahan spektakuler. Sejauh mata memandang yang tampak hanya gugusan pulau yang memanjang cantik berlatar belakang laut lepas. Air laut yang masih jernih dan tenang. Suguhan warna-warni koral terlihat dari atas dermaga tanpa harus menceburkan ke laut. Hijau pohon bakau di sekeliling dan lalu lalang burung camar yang sesekali berkedip manja.

Dermaga Kayu
Dan inilah Pyainemo, salah satu tempat menemukan pecahan surgawi itu. Pyainemo memang bukan Wayag, ikon Raja Ampat yang sudah terkenal kepopulerannya. Tapi bisa menjadi alternatif, karena banyak yang menyebutnya sebagai mini Wayag. Pemandangan dari atas bukit mirip gugusan pulau di Wayag yang telah mendunia itu, namun dengan ukuran yang lebih kecil.

Secara geografis, Pyainemo lebih mudah dijangkau ketimbang Wayag.  Masuk ke sini pun, tidak dipungut biaya, tidak perlu membeli entrance pin. Ini yang menjadi alasan kuat saya dan rekan untuk datang.


Anak tangga menunju puncak
Menuju bukit Pyainemo sekarang mudah, tidak harus bersusah payah mendaki karang karena sudah dibuatkan tangga menuju atas. Tangga ini membelah bukit dengan sisi kanan kiri ditumbuhi pohon-pohon rapat hingga ke atas sehingga membuat suasananya menjadi teduh. Tidak jelas berapa banyak jumlah anak tangga, tapi sebaiknya, nikmati saja pendakian ini daripada menghitung.
 
Dengan degup jantung yang agak kencang dan langkah berat satu demi satu anak tangga saya lalui. Meski ada pijakan kaki tetap saja menguras tenaga untuk tubuh tambun seperti saya, ditambah lagi dengan beban kamera yang tersampir dibahu. Tapi tetap bersyukur, setidaknya tajamnya karang yang mampu merobek kulit telapak tangan dan kaki tidak akan saya hadapi.
 
Jalan yang menanjak kemudian menghentikan langkah saya dalam waktu singkat. Perjalanan menuju puncak bukit Pyainemo memang bukanlah perjalanan yang mudah. Butuh stamina yang prima dan pandai mengatur nafas. Kebetulan ada pos pemberhentian berupa saung, lumayan bisa difungsikan sebagai tempat beristirahat sambil duduk-duduk atau sekadar melemaskan otot-otot. Setelah merasa kuat, saya pun melanjutkan perjalanan mendaki anak tangga.

Pos pemberhentian (saung)
 
Rekan seperjalanan saya sudah sampai ke puncak, sementara saya masih tertinggal di belakang dengan napas tersengal-sengal. Sejenak hasrat mencicipi pesona Pyainemo pun surut. Saya melangkah lemas menuju pos pemberhentian yang kedua. Kaki saya rasanya seperti batang kayu yang kaku, semakin berat diajak melangkah dan tidak ada tenaga lagi untuk menaiki tangga. Andai saja Doraemon itu nyata, saya akan memohon untuk dipinjamkan baling-baling bambu milikinya. Namun saya menghibur diri, bahwa saya pasti bisa sampai puncak bukit. Akhirnya, setelah 45 menit mendaki, termasuk istirahat, sampailah saya di puncak bukit Pyainemo.

Anjungan
Sebuah dek kayu yang dipagari tepiannya. Ada 2 titik melihat pemandangan, di puncak dan tempat seperti anjungan dibagian bawahnya. Anjungan kayu di atas pulau karang dibuat khusus untuk menikmati pemandangan lebih sempurna. Pemandangan yang membuat kita terbelalak menikmati ciptaan yang kuasa. Setelahnya, bersiaplah enggan pulang karena surga dunia tersaji di depan mata.

Gugusan pulau-pulaunya memang menyuguhkan panorama surga bahari yang memesona. Air laut jernih berwarna hijau toska dan gugusan karst bermaterikan karang tersebar membentuk formasi paling cantik. Karang tersebut ditumbuhi berbagai vegetasi tanaman dan berbentuk seperti cendawan yang bermunculan dari dalam laut. Berbalut awan-awan putih bagai salju bertengger di puncak-puncak karang. Rasanya bagai menonton layar bening raksasa yang sedang menayangkan etalase karya alam terbaik. Senyum saya pun terkembang lebar, sambil membantin “akhirnya terbayar juga!”

Pyainemo - Etalase karya alam terbaik

Moncong lensa pun saya bidikkan kesegala penjuru arah. Saya ingin mengabadikan potongan surga dari tempat ini, tempat yang dulunya hanya ada dalam mimpi untuk mengunjungi. Melihat Pyainemo dalam posisi zoom-out, baru bisa saya pahami mengapa Gubernur Papua Barat, Abraham Octavianus Aturury berpesan, "Jangan mati dulu sebelum lihat Kepulauan Raja Ampat".
 
Proud being an Indonesia,

standarmiring

Rabu, 01 April 2015

Bocah-bocah Logam di Danau Toba

Bocah-bocah Logam
Anak-anak ini akan menunjukkan kepiawaiannya. Mereka akan melompat di ketinggian 15 meter dari kapal feri tanpa pelampung, tanpa alat pengaman lainnya dan tanpa cidera. Mereka bukan sedang akrobat, anak-anak ini justru sedang menyambung hidup dengan menjadi penyelam alami pencari koin.
***

Anak logam, sebutan untuk para pemburu uang koin tersebut. Tidak jelas dari mana asal sebutan itu. Mungkin karena mereka selalu berteriak-teriak minta uang logam, atau mungkin karena kesigapan mereka yang selalu mampu mengejar uang logam yang dilemparkan. Entahlah.

Siang itu menjelang sore, suasana penyeberangan di Pelabuhan Ajibata nampak ramai. Pelabuhan ini berbatasan langsung dengan Kota Parapat, Sumatra Utara, dan menjadi akses penyebrangan menuju Pelabuhan Tomok di Pulau Samosir. Satu demi satu mobil dan bus memasuki perut kapal. Namun disaat banyak wisatawan mulai terkagum-kagum akan ekostisme alam Danau Toba, saya justru tergelitik mengamati bocah-bocah sedang memperebutkan koin di danau, yang mungkin bagi kita enggan untuk memungutnya.

Pemandangan seperti itu mungkin sudah tidak asing lagi bagi para pengguna kapal di Pelabuhan Ajibata, tapi keterampilan mereka mengejar koin menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Demi menangkap jelas mimik wajah para bocah koin saya terpaksa menaiki tepi pagar kapal. Tangan saya tidak bosan untuk terus menekan rana kamera, sungguh aksi yang tak boleh terlewatkan untuk diabadikan.  Saya sempat menoleh ke arah bawah. Yasalaaam, tinggi sekali. Namun semangat saya begitu membara untuk mengorek lebih banyak informasi tentang ‘profesi’ mereka ini dan rela mengesampingkan keselamatan diri dan kamera saya yang bisa saja jatuh tercebur ke laut.
 
Boy
Saya beruntung melihat ada seorang bocah bertelanjang tanpa memakai baju dan hanya mengenakan celana dalam tampak asik duduk di bagian haluan kapal, di antara tali jangkar yang berseliweran. Kulit badannya hitam legam dan rambutnya memerah. Ya tentu saja, wong tiap saat harus mencebur ke laut, dan terbakar matahari. Usianya baru belasan. Ia sedang menghitung uang hasil dari memburu koin. “Lumayan buat jajan,” jawabnya ketika saya  dekati.  Boy, nama bocah itu, bersama sejumlah anak lainnya, mereka melakoni pekerjaan yang menantang sekaligus mengancam jiwa ini. Boy mengaku dalam satu hari penghasilan yang diperoleh berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp.15.000. Hasil yang mereka dapatkan bergantung dari banyak sedikitnya jumlah penumpang yang melemparkan koin. Selain itu, mereka juga harus bersaing dengan sesama anak koin yang lain.

Keberadaan anak logam bisa dilihat sebelum kapal bertolak meninggalkan dermaga, biasanya ketika kapal sudah selesai memuat barang dan penumpang. Rentang usia mereka beragam, mulai anak berumur 10 tahun hingga pemuda 17 tahunan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak di sekitar pelabuhan yang putus sekolah. Mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lantaran kesulitan ekonomi. Hal ini yang menjadikan alasan mereka memilih mengais rezeki sebagai bocah pemburu koin. Dengan keahliannya menyelam, mereka mengumpulkan uang recehan dan hasilnya untuk membantu perekonomian keluarga.

Para pencari koin itu sudah bersiap melakukan aktivitasnya sejak pukul 08.30 pagi, sesuai dengan jadwal pertama penyebrangan kapal di Pelabuhan Ajibata. Menjelang matahari terbenam, satu persatu dari mereka mulai pergi meninggalkan pelabuhan untuk pulang ke rumah. “Saya ikuti jam yang ada Bang. Tapi kalau sore sampai jam 17.00 saja karena sudah gelap tak kelihatan koinnya,” ujar Boy sambil senyum-senyum.

Adu gaya menyelam
Lalu, bagaimana cara mereka memperoleh koin di danau tawar ini?  Rupanya setelah sejumlah penumpang melemparkan sejumlah koin ke laut, anak-anak tersebut tanpa rasa takut langsung terjun ke laut  dengan gaya mereka masing-masing. Ada gaya salto atau membulat seperti batu. Mereka berebut menyelam untuk menggapai koin sebelum jatuh ke dasar danau. Beberapa detik kemudian mereka muncul ke permukaan dengan koin di genggamannya. Saat berenang, kaki dan tangannya sibuk bergerak. Mereka berusaha menahan tubuhnya agar tetap mengambang di permukaan air yang dingin. Sambil sesekali dari kejauhan berteriak meminta para penumpang kapal untuk melempar kembali koin ke laut. “Lempar lagi lah Bang! Lempar lagi lah!,” teriak anak-anak itu.
Asyik memperhatikan mereka, tiba-tiba saja dari arah belakang ada yang mencolek pundak saya. “Bang, minta  lima ribu. Saya akan loncat dari sini!” kata seorang bocah sebaya Boy melontarkan tantangan. Saya pandangi dia, tatapannya sungguh serius. Tapi saya tidak tega jika ia harus melompat dengan ketinggian belasan meter. Bagaimana jika terpeleset saat melompat? Atau tubuhnya menghantam kapal yang terbuat dari besi ini? Atau lebih menyeramkan lagi jika posisi ia mendarat terlalu dekat dengan baling-baling kapal? Rasa ngeri dan takut meliputi pikiran saya. OK. Ini lima ribu, tapi saya nggak nyuruh kamu nyebur dari sini ya. Ikhlas saya berikan untuk jajan kamu,” kata saya tegas.
 
Byurr, suara air jatuh. Tanpa komando, bocah ini telah loncat dari atap kapal. Saya bergidik, menggigit bibir. Tapi dari jauh saya melihat ia tertawa sambil melambai-lambaikan tangannya, menunjukkan kalau baik-baik saja.
 
Para pencari koin umumnya mengaku tidak pernah gagal memburu koin yang dilempar penumpang kapal. Bakat menyelam sendiri sudah mereka latih sejak kecil. Tak heran setiap uang yang dilempar ke danau dapat dengan mudah mereka temukan. Bahkan banyak penumpang yang dengan sengaja melempar dengan kuat sehingga uang itu terlempar cukup jauh namun anak-anak itu selalu mampu mengejarnya.
 
Bocah-bocah pemburu koin siap beraksi

Keberadaan pemburu koin ini tidak selamanya diterima, mereka kerap diusir oleh petugas keamanan saat berada di kapal karena melompat dan menyelam di sekitar kapal yang bersandar dianggap sangat berbahaya. Namun meski bahaya mengancam setiap saat, berbekal niat mencari uang, mereka terus menjalankan aksinya. Boy, bocah yang tadi sempat saya temui mengatakan, sebenarnya ia memiliki ketakutan saat mencari koin yang dilempar penumpang ke dasar danau. Ia takut tersedot baling-baling kapal. “Saya memang paling takut kalau kejepit kapal. Makanya biar tak kejepit harus cepat saat mengambil koin,” ujarnya.  Mungkin rasa senang dan tertantang untuk mendapatkan uang logam itu yang membuat Boy mampu mengalahkan rasa takutnya.
 
Terdengar suara klakson kapal yang memekakkan telinga, menandakan kapaI akan berangkat. Waktunya untuk angkat sauh. Dan beberapa anak pun mulai berenang ke tepian. Ah, Anak logam, nyalimu luar biasa.
 
Bocah-bocah logam, nyalimu luar biasa

Proud being an Indonesian,
standarmiring

:: Artikel ini dimuat di Majalah Reader's Digest Indonesia edisi April 2015 ::