Kamis, 10 April 2014

48 Jam di Purwokerto

 
 
Siapa bilang berlibur harus mengambil cuti berhari-hari? Saya, berserta beberapa teman membutuhkan waktu kurang dari 48 jam saja untuk mengenyam liburan di Purwokerto. Itu sudah termasuk perjalanan Jakarta ke Purwokerto, mengunjungi aneka wisata menarik seperti wisata religi, wisata alam, wisata museum, hingga mencicipi wisata kulinernya yang menggoda.
***

Dua minggu sebelum liburan, kami sempat menghubungi salah satu rekan kerja kami, Mas Budi, yang kebetulan memiliki rumah di Kroya, Jawa Tengah. Rencananya, kami akan menginap satu malam di kediamannya. Maklum, perjalanan ini dilakukan ala backpaker alias wisatawan dengan modal minim. Jadi seminimal mungkin harus irit bujet. Itinirerary pun sudah kami susun dengan terencana.

Sebelum menjejak kota sejuk Purwokerto, sudah terbayang aneka kuliner, seperti soto sokaraja, tempe mendoan, gethuk goreng dan aneka makanan khas unik lain. Ah, mantap. 

Pagi hari yang cerah, saya dan tiga orang teman sudah berkumpul di Stasiun Kereta Api Jatinegara. Bermodal tiket sebesar Rp28.000 ditangan, kereta api kelas ekonomi jurusan Jakarta – Kutoarjo ini akan membawa kami menginjakkan kaki di Jawa Tengah. Sepanjang perjalanan, mata kami disuguhkan berbagai pemandangan menarik.

Di dalam kereta, kami pun disambut tumpah ruah aktivitas sosial, hal yang lumrah kita jumpai jika naik kereta api kelas bawah. Para pedagang yang silih berganti menjajakan barang dagangannya. Kaum muda mencoba peruntungan dengan mengamen. 
 
 
Pemandangan di luar kereta pun tak kalah indahnya. Melihat hamparan sawah hijau, ada juga yang menguning dan siap untuk dituai, pepohonan rindang yang menjulang tinggi, dan langit beselimut kabut cantik sungguh memanjakan mata. Rasa kantuk yang sebelumnya khawatir akan mendera kami menguap lenyap seketika. Perjalanan dari Jakarta menuju Kroya pun sepertinya menjadi sangat singkat.

Senja menggelayut seakan menyambut kedatangan kami saat tiba di Stasiun Kroya. Terlihat Mas Budi beserta Ilham -anaknya- dan Farid- teman kami yang berangkat duluan- telah menunggu di bibir peron. Dengan menggunakan transportasi dokar -kendaraan yang dijalankan dengan tenaga kuda-, beramai-ramai kami menuju rumah Mas Budi yang sejuk dan asri. 

Sisa hari ini kami habiskan dengan bersepeda keliling rumah, membeli bekal untuk persiapan ke Purwokerto esok harinya, makan malam oseng-oseng bunga kejombrang dan mendoan sambil manyantap kudapan khas Purwokerto bernama Themlek yakni makanan yang terbuat dari ampas tahu. 
***
Pagi sudah menjelang, kami pun siap berkelana meretas kota Purwokerto. Topi, payung, baju ganti, perlengkapan salat, serta pasokan makanan dan minuman sudah dimasukan ke dalam mobil sewaan. Kami memang menggunakan mobil sewaan karena setelah dihitung-hitung, jatuh biaya perorangnya sama saja dengan naik kendaraan umum. Kelebihan lain, sewa mobil dapat mempersingkat waktu dan kapan pun bisa berhenti sesuai keinginan kami.

Cuaca hari itu sedikit tidak bersahabat. Langit terlihat muram dan matahari masih enggan menyapa, tetapi kami tetap optimis melanjutkan petualangan. Di tengah perjalanan kami melewati Pabrik Gula Kaliori. Saya sempat merengek ke teman-teman agar berhenti dan masuk sejenak memotret bangunan tua yang berkesan angker serta sudah tidak berfungsi lagi, sayangnya mereka dengan cepat menangkisnya. ”Seram!” teriak mereka kompak. 

Setelah dua jam, sampailah kami ke tujuan perdana, yakni Gua Maria Kaliori. Masuk ke gua ini tidak dipungut biaya alias gratis. Ketika sampai, kita akan menemukan sebuah pendopo bertuliskan Gua Maria Kaliori diatasnya. Di pintu masuk, ada patung Yesus yang merentangkan kedua tangannya. Yang istimewa, Gua Maria itu diberkati langsung oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II pada tahun 1989. Setelah puas berkeliling, kami bergerak melipir menuju destinasi berikutnya, Baturraden. 
 
 
Objek wisata Baturraden memang menjajikan surga bagi pengunjung untuk melepas lelah. Terletak di sebelah selatan kaki Gunung Slamet, Baturraden berhawa sejuk, dengan udara yang segar dan cenderung dingin. 

Kami tidak sudi melewatkan ritual wajib di sana, yakni mandi di kolam sumber air panas dan pijat refleksi belerang. Tarifnya pun cukup murah, yaitu Rp15.000 hingga Rp30.000. Kedua aktivitas itu ada di Pancuran Pitu (Pancuran Tujuh), kami tempuh sekitar empat jam dari pintu gerbang. 

Ada kepercayaan yang menyebutkan jika lewat dari pukul 13.00, hujan akan mengguyur, tetapi hanya sebatas area lokawisata andalan Purwokerto tersebut. Bukan sekadar isapan jempol belaka, tepat pukul 13.00, hujan memang turun dengan lebat. Meski kecewa, setidaknya, kami sudah bisa menapaki Pancuran Pitu, merendam kaki dan mencuci muka dengan air belerang. Tak lupa, kami juga makan siang di atas ketinggian sambil memandang kota Purwokerto dan Cilacap. 

Kami berteduh menunggu hujan reda. Namun, karena keterbatasan waktu, kami terpaksa nekat melanjutkan perjalanan turun menggunakan jasa ojek payung dari anak-anak sekitar. Sampai di parkiran mobil, kami pun langsung tancap gas meninggalkan Baturraden membelah jalan beraspal. Anehnya, jarak beberapa meter setelah keluar dari area wisata Baturraden, jalanan tampak kering. Tidak ada tanda-tanda hujan turun di daerah itu!
 

Museum Bank Rakyat Indonesia menjadi tempat singgah kami selanjutnya. Museum ini terletak di jalan Jendral Soedirman, didirikan oleh Raden Aria Wirjaatmadja pada 1895 dengan namaDe Purwokertche Hulp en Spaarbank der Inlandche Bestuurs Ambtenaren. Sebagai bentuk penghargaan, dibagian depan, berdiri patung tokoh itu.

Sebenarnya jam berkunjung sudah tutup. Akan tetapi, setelah negoisasi cukup alot dengan Pak Satpam Bank BRI yang ada di depan museum, kami diperbolehkan untuk masuk. Meski tidak ada pemandu, kami tetap apresiatif melihat koleksi benda-benda kuno di museum berlantai dua itu, seperti uang koin dan kertas, berbagai mesin penghitung, telepon, lemari brankas, pakaian kerja dari masa kemasa, lukisan potret diri R.Wirya Atmadja, dan barang-barang lain yang menunjukkan perkembangan BRI.

Petualangan di Purwokerto kami tuntaskan dengan makan soto sokaraja. Soto ini memiliki ciri khas yaitu kuah soto yang bercampur kerupuk dan bumbu sambal kacang yang kental serta irisan ketupat sebagai pengganti nasi. Meski sudah banyak dijual di Jakarta, tapi menikmati soto ditempat asli sejatinya merupakan sensasi tersendiri. Soto ini berjajar rapi di sepanjang jalan di Sokoraja. 

Di tempat tersebut pula, kami menyempatkan membeli oleh - oleh khas Purwokerto yaitu gethuk goreng. Makanan berbahan dasar singkong itu berbentuk gumpalan warna cokelat tua. Sekilas memang tak menarik mata, tetapi begitu kami mencoba menggigitnya, rasa manis gula jawa bercampur singkong yang telah dihaluskan membuat lidah terasa dimanjakan. Sluurpp. Untuk lokasinya hanya berseberangan dengan tempat kami makan soto. 

Tidak terasa, hari sudah mulai gelap. Sore menjelang malam pun tidak bisa dielakan. Kami harus segera bergegas pulang ke rumah Mas Budi. Kereta api yang mengantar kami ke Jakarta sudah menanti. 
***
Malam menjadi tua. Angin yang terhembus semakin terasa seperti menggigit tulang. Kami pun melangkah pulang diiringi deru suara mesin kereta api. ”See you again, Purwokerto” 

Ada satu keinginan tertunda hingga kini yang belum sempat saya lakukan, yakni mendatangi pabrik gula kaliori. Bangunan itu bagus untuk dijadikan objek foto sekaligus uji nyali.
Ada yang berminat menemani saya?

Proud being an Indonesian,
standarmiring

::Tulisan ini dimuat dimajalah Travelxpose edisi September 2011. Untuk wisata Baturraden sendiri pernah dimuat dimajalah Reader’s Digest Indonesia edisi Oktober 2009 dengan judul Pijat Lumpur Belerang Baturraden ::

(Artikel wisata ini menjadi salah satu sumber referensi buku TE-WE (Travel Writer) yang ditulis oleh Gol A Gong (cetakan pertama Februari 2012). Gol A Gong adalah pionir penulis perjalanan dan novel serialnya yaitu Balada Si Roy menjadi best seller tahun 90-an)
 

RDI edisi Oktober 2009
Travelxpose edisi September 2011
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar