Senin, 18 Mei 2015

P Y A I N E M O

Puncak Pyainemo
Bicara provinsi Papua Barat, tidak bisa tidak menyebut Raja Ampat. Cerita keindahan kepulauan di bagian ujung Kepala Burung Pulau Papua ini begitu menggaungnya, tidak hanya di bawah laut tapi juga panorama daratannya. Tak heran kalau banyak orang bilang berkunjung ke Raja Ampat seperti melihat surga kecil yang jatuh ke bumi.
 
***
Kapal cepat melabuh di dermaga kayu berukuran tidak terlalu luas. Padangan saya berkeliling. Baru menjejakan kaki di dermaga tapi sudah disuguhi keindahan spektakuler. Sejauh mata memandang yang tampak hanya gugusan pulau yang memanjang cantik berlatar belakang laut lepas. Air laut yang masih jernih dan tenang. Suguhan warna-warni koral terlihat dari atas dermaga tanpa harus menceburkan ke laut. Hijau pohon bakau di sekeliling dan lalu lalang burung camar yang sesekali berkedip manja.

Dermaga Kayu
Dan inilah Pyainemo, salah satu tempat menemukan pecahan surgawi itu. Pyainemo memang bukan Wayag, ikon Raja Ampat yang sudah terkenal kepopulerannya. Tapi bisa menjadi alternatif, karena banyak yang menyebutnya sebagai mini Wayag. Pemandangan dari atas bukit mirip gugusan pulau di Wayag yang telah mendunia itu, namun dengan ukuran yang lebih kecil.

Secara geografis, Pyainemo lebih mudah dijangkau ketimbang Wayag.  Masuk ke sini pun, tidak dipungut biaya, tidak perlu membeli entrance pin. Ini yang menjadi alasan kuat saya dan rekan untuk datang.


Anak tangga menunju puncak
Menuju bukit Pyainemo sekarang mudah, tidak harus bersusah payah mendaki karang karena sudah dibuatkan tangga menuju atas. Tangga ini membelah bukit dengan sisi kanan kiri ditumbuhi pohon-pohon rapat hingga ke atas sehingga membuat suasananya menjadi teduh. Tidak jelas berapa banyak jumlah anak tangga, tapi sebaiknya, nikmati saja pendakian ini daripada menghitung.
 
Dengan degup jantung yang agak kencang dan langkah berat satu demi satu anak tangga saya lalui. Meski ada pijakan kaki tetap saja menguras tenaga untuk tubuh tambun seperti saya, ditambah lagi dengan beban kamera yang tersampir dibahu. Tapi tetap bersyukur, setidaknya tajamnya karang yang mampu merobek kulit telapak tangan dan kaki tidak akan saya hadapi.
 
Jalan yang menanjak kemudian menghentikan langkah saya dalam waktu singkat. Perjalanan menuju puncak bukit Pyainemo memang bukanlah perjalanan yang mudah. Butuh stamina yang prima dan pandai mengatur nafas. Kebetulan ada pos pemberhentian berupa saung, lumayan bisa difungsikan sebagai tempat beristirahat sambil duduk-duduk atau sekadar melemaskan otot-otot. Setelah merasa kuat, saya pun melanjutkan perjalanan mendaki anak tangga.

Pos pemberhentian (saung)
 
Rekan seperjalanan saya sudah sampai ke puncak, sementara saya masih tertinggal di belakang dengan napas tersengal-sengal. Sejenak hasrat mencicipi pesona Pyainemo pun surut. Saya melangkah lemas menuju pos pemberhentian yang kedua. Kaki saya rasanya seperti batang kayu yang kaku, semakin berat diajak melangkah dan tidak ada tenaga lagi untuk menaiki tangga. Andai saja Doraemon itu nyata, saya akan memohon untuk dipinjamkan baling-baling bambu milikinya. Namun saya menghibur diri, bahwa saya pasti bisa sampai puncak bukit. Akhirnya, setelah 45 menit mendaki, termasuk istirahat, sampailah saya di puncak bukit Pyainemo.

Anjungan
Sebuah dek kayu yang dipagari tepiannya. Ada 2 titik melihat pemandangan, di puncak dan tempat seperti anjungan dibagian bawahnya. Anjungan kayu di atas pulau karang dibuat khusus untuk menikmati pemandangan lebih sempurna. Pemandangan yang membuat kita terbelalak menikmati ciptaan yang kuasa. Setelahnya, bersiaplah enggan pulang karena surga dunia tersaji di depan mata.

Gugusan pulau-pulaunya memang menyuguhkan panorama surga bahari yang memesona. Air laut jernih berwarna hijau toska dan gugusan karst bermaterikan karang tersebar membentuk formasi paling cantik. Karang tersebut ditumbuhi berbagai vegetasi tanaman dan berbentuk seperti cendawan yang bermunculan dari dalam laut. Berbalut awan-awan putih bagai salju bertengger di puncak-puncak karang. Rasanya bagai menonton layar bening raksasa yang sedang menayangkan etalase karya alam terbaik. Senyum saya pun terkembang lebar, sambil membantin “akhirnya terbayar juga!”

Pyainemo - Etalase karya alam terbaik

Moncong lensa pun saya bidikkan kesegala penjuru arah. Saya ingin mengabadikan potongan surga dari tempat ini, tempat yang dulunya hanya ada dalam mimpi untuk mengunjungi. Melihat Pyainemo dalam posisi zoom-out, baru bisa saya pahami mengapa Gubernur Papua Barat, Abraham Octavianus Aturury berpesan, "Jangan mati dulu sebelum lihat Kepulauan Raja Ampat".
 
Proud being an Indonesia,

standarmiring

Tidak ada komentar:

Posting Komentar